Rabu, 21 Januari 2009

Kearifan lingkungan

kEARIFAN lINGKUNGAN TANATOA

Kearifan lingkungan Sulawesi Selatan yang seringkali dirujuk adalah yang terdapat pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah baik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur (teks lisan) yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat).

Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian kawasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam pohon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama sekali tidak boleh dirambah (baca, Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya (organisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.

Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).

Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masyarakat lokal yang memiliki kearifan lingkungan, seperti lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara memotong pohon untuk tiang rumah, dan perlunya mengganti pohon yang ditebang dengan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber daya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq (membersihkan laut) yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain.

Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sistem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia merupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam penghijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an (Lucas dalam Robinson & Paeni, 2005). Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak masyarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usaha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tambahan pendapatan ekonomi keluarga dengan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak.

Contoh yang dikemukakan terakhir ini menegaskan kembali kepada kita tentang perlunya penguatan kearifan lingkungan. Sebuah upaya yang secara konseptual memerlukan adanya sinergi antara religi, pengetahuan, dan teknologi, dan secara praktikal membutuhkan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah serta antarsektoral, perguruan tinggi, LSM, tokoh-tokoh agama, dan pelaku di masyarakat. Tujuannya adalah membangun agenda rencana aksi yang bermuara pada pelaku pembangunan yang arif lingkungan. **

Tidak ada komentar: