Rabu, 21 Januari 2009

Pimpinannya Rela Menjadi yang Termiskin

Kehidupan Suku Kajang di Sulsel
Pimpinannya Rela Menjadi yang Termiskin

Bulukumba – Di tengah-tengah maraknya korupsi yang dilakukan oleh sejumlah oknum pejabat negara, baik dari eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, kesederhanaan pemimpin adat suku Ammatoa (Kajang Dalam) dapat mendapat acungan jempol. Ammatoa, begitu pula julukan bagi pemimpin adat tertinggi dalam suku Kajang tersebut, selalu memberikan contoh bagaimana menegakkan hukum, jika anggota masyarakatnya melakukan tindak pidana. Sebagai penguasa yang mempunyai otoritas penuh, dia tidak boleh memperkaya dirinya. Bahkan, menjadi Ammatoa berarti harus merelakan diri untuk menjadi orang yang paling miskin di antara anggota masyarakatnya.
Kediamannya yang terletak di salah satu wilayah di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel, menampakan bahwa kehidupannya paling sederhana di antara rumah penduduk yang mendiami tempat yang sama. Dinding rumahnya terbuat dari bambu, sedangkan masyarakatnya membangun rumahnya dengan menggunakan kayu.
Contoh hidup sederhana dan kedisiplinan dari menegakkan hukum membuat tidak ada tindak pidana korupsi yang tumbuh di tanah adat itu. Bagi setiap orang yang kedapatan mencuri hasil hutan keramat akan didenda sebesar 12 real atau sebesar Rp 1,2 juta. Memang mata uang Saudi Arabia yang lebih dikenal dari turun temurun di sana.
Uang hasil denda itu tidak lantas diambil oleh para pihak yang mempunyai jabatan di suku tersebut. Hasil denda itu langsung dibagi-bagikan kepada masyarakatnya. ”Karena pelaku pencurian itu telah mencuri milik rakyat, maka hasil dendanya juga harus dikembalikan kepada masyarakat,” ujar ketua adat Ammatoa ketika SH melakukan kunjungan ke daerah itu akhir tahun lalu.
Korupsi tidak tumbuh di tanah itu, karena masyarakat di sana tidak ada yang berlomba-lomba untuk menjadi kaya. Manusia yang dilahirkan harus hidup sederhana. Justru kekayaan, akan melanggar adat yang telah mereka pegang secara turun temurun. ”Kita tidak bisa berlebih-lebihan karena itu akan melanggar kehidupan adat yang sederhana,” papar Ammatoa.

Tradisional
Masyarakat adat Ammatoa (Kajang Dalam) di Tana Toa-Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu suku di mana masyarakatnya masih mempertahankan gaya hidup tradisional. Baik sistem sosial-budaya-politik-religinya masih asli.
Tidak ada kendaraan bermotor yang lalu lalang, penerangan listrik maupun media informasi televisi serta radio di kawasan tersebut. Namun, di tengah-tengah keunikan yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut, ada yang istimewa, yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan.
Masyarakat adat Ammatoa yang tinggal sekitar 50 kilometer dari pusat kota kabupaten, mengelola hutan secara lestari. Sehingga, hutan di wilayah tersebut tetap aman. Hal ini disebabkan hubungan masyarakat adat dengan sumberdaya hutan merupakan sesuatu yang amat penting dan penuh dengan kearifan, serta telah dibina sejak awal dari kehidupan masyarakatnya.
Masyarakat Ammatoa dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaanya terhadap ajaran ” pasang ” bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na (Tuhan) beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya. Faktor lain yang berpengaruh dalam menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka bahwa asal mula leluhurnya ”turun” di hutan Tombolo.
Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase-masea (kesederhanaan) dan ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat. Masyrakat Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa memelihara hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka.

Dilarang Mengeksploitasi
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif "menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan-kegiatan upacara dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir-butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai linoa lollong bonena. Kammayya tompa langika. Siagang rupa taua. Siagang boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti jagalah dunia beserta isinya, Begitu juga langit, manusia dan hutan.
Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama dari Turie' A'ra'na (Tuhan YMK) kepada amma Toa (Tau marioloa), yang menyatakan bahwa ekositem dunia (lino) adalah sumber kehidupan yang menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi.
Selanjutnya ada pasang lain yang mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai sumber hujan yang demikian besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang harus dijalankan oleh seluruh warga masyarakat Ammatoa.
Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebang-an kayu di hutan secara terus menerus tanpa ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena itu, menurut pasang adalah tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto (lembaga yang khusus menangani hutan.
Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan, pertama harus disampaikan kepada Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan menyampaikan kepada Ammatoa.
Setelah Ammatoa menganalisis kebutuhan masyarakat, maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo' bersama Galla Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan Batasanya. Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan. Sebelum menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.
(SH/tutut herlina)


FROM:
sINAR hARAPAN
Sabtu, 31 Januari 2004

Tidak ada komentar: