Kamis, 16 April 2009

Suku Anak Dalam (SAD)

Mengunjungi Orang Rimba, Suku Anak Dalam di Jambi

http://www.gp-ansor.org/berita/mengunjungi-orang-rimba-suku-anak-dalam-di-jambi.html
Tolak Bantuan Rumah, Takut Roh Leluhur Marah
Tak banyak yang diminta oleh suku Anak Dalam. Karena cintanya terhadap alam, hanya satu harapan mereka kepada pemerintah, yakni melindungi hutan tempat tinggal mereka.
Sekelompok pria dan wanita nyaris bertelanjang tampak santai berjalan tanpa alas kaki menyusuri hutan. Mereka hanya mengenakan selembar kain untuk menutup bagian vital. Sebagian perempuan juga membiarkan buah dada mereka. Kulit mereka gelap dan tampak kasar akibat terkena sinar matahari dan hawa dingin secara bergantian setia hari. Itulah gambaran orang rimba. Warga suku Kubu yang dikenal dengan suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.
Sekitar 1.300 orang rimba masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektare itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten, Batanghari, Sarolangun, dan Tebo.
Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf bersama artis Nurul Arifin dan penyanyi Frangky Sahilatua pada Senin lalu, 15 Januari, mengunjungi orang rimba yang berada di wilayah Kabupaten Sarolangun. Tepatnya di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam.
Baru kali itu ada pejabat pusat yang mendatangi suku Kubu. Sebelumnya, pejabat tertinggi yang pernah datang ke sana hanya bupati Sarolangun dan gubernur Jambi.
Butuh waktu empat setengah jam dari Bandara Sultan Thaha Syaifuddin untuk sampai ke Pematang Kabau. Sekitar dua puluh kilometer kondisi jalan rusak parah. Dari Desa Pematang Kabau, harus berjalan hampir 1 km lagi untuk mencapai salah satu komunitas suku Anak Dalam yang dipimpin seorang temenggung (pimpinan suku Anak Dalam) bernama Tarib. Dia pernah mendapat penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke hutan tempat tinggal orang rimba. Di depan gerbang ada tulisan pada papan, Dilarang Memotret dan Syuting. Aturan itu sangat ketat dan kaku. Terutama mengambil gambar perempuan dan rumah godong (rumah terbuat dari kayu beratap rumbiyak). Pelanggar aturan itu akan dikenai denda kain, mulai 10 lembar hingga 50 lembar, bergantung keputusan depati (pejabat adat yang bertugas menyelesaikan sengketa).
Saat rombongan menteri PDT akan masuk, sempat ditolak oleh orang rimba. Alasannya, rombongan membawa wartawan yang dikhawatirkan akan mengambil gambar perempuan dan rumah godong. Setelah dijamin oleh Bupati Sarolangun Hasan Basri Agus, mereka baru mengizinkan.
Saat di dalam hutan, seorang wartawan sempat tepergok mengambil foto menggunakan kamera handphone. Mereka langsung protes ke bupati. “Itu kan handphone, bukan kamera,” kata Bupati Hasan Basri mencoba menjelaskan. “Kami tidak bodoh. Di sini tidak ada sinyal. Buat apa mengeluarkan handphone,” kata salah seorang di antara mereka.
Banyak aturan lain yang ketat di sana. Pria asing boleh masuk hutan kalau ditemani pria rimba. Setiap masuk harus berteriak terlebih dahulu. Ado jentan kiuna (Ada laki-laki di sana?). Setelah mendapat jawaban, baru bisa masuk.
Pria yang mandi dilarang bertelanjang bulat. Harus tetap mengenakan penutup alat vital. Jika melanggar, si pria juga akan didenda membayar sejumlah kain.
Pria dan perempuan suku Anak Dalam juga dilarang berduaan. Jika ketahuan, mereka akan dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.
Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa menanam kelapa sawit.
Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.
Orang rimba memang sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya, saat berkunjung ke sana, Menteri PDT Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah. Tapi, itu ditolak. “Kami tidak butuh rumah. Kami hanya minta rimba kami dijaga,” kata Tarib.
Menurut Tarib, pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu. “Kalau beratap seng, roh leluhur kami tidak bisa masuk,” tutur Tarib. “Kalau atapnya genting, kami belum mencoba,” lanjutnya.(jp/aji)

Tidak ada komentar: