Selasa, 20 Januari 2009

Appatinro Bine

Appatinro Bine: Kami Jaga Sendiri Alam Kami

Banyak cara yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan untuk menghargai lingkungan. Salah satunya adalah Appatinro Bine, upacara ritual yang dimaksudkan untuk memberi penghargaan terhadap tanaman, khususnya padi. Appartinro bine dilakukan hampir di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, termasuk di Bulukumba, Kajang, Ara, Gangking (Gantarang Kindang ) dan Kindang. Bagi masyarakat di wilayah tersebut acara Appatinro Bine telah menjadi ritual rutin tahunan ketika akan mulai menanam padi. Menurut Puang Massewali, salah seorang tokoh masyarakat di kampung Campaga, desa Kindang, Kabupaten Bulukumba, Appatinro Bine biasanya dilakukan dengan pesta besar-besaran. Penduduk berdatangan dari berbagai daerah. Biasanya acara dimulai dengan mengumpulkan berbagai bahan seperti, daun sirih, tebu, pisang, ubi kayu, nasi ketan dan ayam, kadang juga dilengkapi dengan lampu dari kemiri. Setelah itu bibit padi diletakkan di tengah rumah dengan bahan-bahan yang sudah dikumpulkan.

Lampu kemiri kemudian dipasang di sekeliling bibit padi. Acara ritual dimulai dengan doa yang dipimpin oleh salah seorang sesepuh masyarakat, dilanjutkan dengan disemburkannya (apporasa) beras kearah bibit padi oleh sekolompok perempuan yang hadir. Setelah itu dibacakan kisah Meong Palo Karallae (kisah tentang kucing tiga warna yang biasanya menyertai Dwi Sri/Dewi Padi) dalam dua bahasa Bugis dan Konjo. Acara ini kemudian ditutup dengan Kelong Osong (nyanyian untuk tanaman), yang salah satu baitnya berbunyi : “Rumpu rahu Ripossi Bolae. Palliburiki tagari kua ri Possi Bolae” [Maksudnya: Tanaman (bibit padi) di pusat rumah dikelilingi tanaman lain di pusat rumah].

Menurut salah seorang anggota komunitas kampung Campaga, Puang Seling, acara ini dimaksudkan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, di samping bentuk penghargaan terhadap alam lingkungan (dalam hal ini padi). “Sebab sesungguhnya tumbuh-tumbuhan adalah makhluk hidup seperti kita. Dalam wujudnya semula padi itu adalah manusia seperti kita juga. Karena itu kalau tidak dihargai tanaman itu akan meninggalkan kita,” ujar Puang Seling.

Sayangnya tradisi ini sejak tahun 1962 mulai dikikis, khususnya oleh DI/TII. Orang-orang DI/TII menganggap apa yang dilakukan oleh masyarakat adalah perbuatan khurafat dan musyrik, karenanya harus diperangi. Warga masyarakat dikejar-kejar oleh DI/TII, mereka dipaksa meninggalkan tradisi tersebut. Namun kekerasan DI/TII ini tak menyurutkan niat masyarakat untuk mengadakan kegiatan mereka. Meski mulai berkurang, tapi masih ada sejumlah kalangan yang tetap mempertahankan tradisi Appatinro Bine. Sampai tahun1980-an acara-acara kecil-kecilan Appatinro Bine masih banyak ditemukan.

Sekitar tahun 1980-1995, Departeman Agama melalui dai-dai dan guru mulai masuk melakukan berbagai macam pembinaan, yang intinya juga hendak menghentikan upacara ini. Mereka menyebut acara semacam Appatinro Bine sebagai bentuk kebodohan, kemunduran dan bahkan bisa menjebak orang pada perbuatan syirik. Seiring dengan itu pihak pemerintah juga mulai memperkenalkan cara-cara pengelolaan pertanian secara modern, mulai dari bibit, pupuk dan juga alat-alat pertanian semacam traktor dan alat pemangkas mesin padi. Sejak itu tradisi-tradisi semacam appatinro bine, Anrara Paenre, Kelong pare dan yang lainnya mulai tersisih. Sebab semua itu dianggap kemunduran, bahkan kemusyrikan.

Sekalipun demikian sejumlah masyarakat masih bertahan. Mereka tetap melakukan upacara secara diam-diam di rumah masing-masing. Bagi mereka apa yang dilakukan itu adalah bentuk kecintaan mereka terhadap makhluk Tuhan. Mengapa harus disalahkan? “Dulu ketika hal ini masih lazim dilakukan, tanaman padi kami meskipun hanya sekali setahun panen, dapat mencukupi kehidupan kami. Tetapi sekarang, sekalipun mengalami dua kali masa panen namun tidak mencukupi kebutuhan. Hal ini karena penghargaan kita terhadap tanaman saat ini sudah tidak ada. Tanaman betul-betul sudah diperlakukan seperti benda mati,” ujar Puang Seling.

Kini mereka tidak menemukan lagi keharmonisan hidup bersama alam. Ligkungan sudah dieksploitasi habis oleh teknologi modern pertanian. Sebagai pelipur lara, sesekali saja mereka melantunkan Akkelong pare (Nyanyian padi) seperti Kelong Sape, yang dulu sering mereka nyanyikan ketika memotong padi dengan nada mendayu-dayu:

Bulaeng pale parea

Intang pale tukkattoa

Pare Baji Ni lamung

Ia baji nipatimbo

Makkio bija mappasse’re pammanakkang

(Emaslah padi itu, intan yang memetiknya, padi bagus ditanam, bagus pula ditumbuhkan, mendatangkan keluarga mengumpulkan sanak famili). Desantara

from:
http://desantara.org/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=152&Itemid=131

Masyarakat Tanatoa

>Sabtu, 9 Maret 2002

Masyarakat Tanatoa
Teguh pada Istiadat, Hormat pada Pimpinan


Kompas/reny sri ayu taslim
SELEPAS pintu gerbang penyambutan Tanatoa, tampak jalan setapak berbatu selebar dua meter. Secara umum jalan-jalan setapak di Kawasan Tanatoa, Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba (250 kilometer Selatan Makassar/ujung Timur Bulukumba) memang demikian adanya. Di sisi kiri-kanan jalan berdiri kokoh berbagai pepohonan. Daun-daunnya yang rimbun membuat jalan di bawah dan sekelilingnya menjadi teduh.

Di bagian lain tampak rumah-rumah panggung khas sederhana yang semuanya menghadap barat. Sebagian besar rumah terlihat bagai tidak berpenghuni. Beberapa perempuan dewasa tampak menenun di sebuah bangunan panggung kecil, menyerupai pos ronda, di halaman rumah masing-masing. Selebihnya sepi, nyaris tak tampak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya suara burung, ayam, anjing, atau lenguh sapi dan binatang-binatang lainnya yang sesekali terdengar.

Pemandangan seperti ini akan terlihat hampir setiap hari. Bila pagi hari para lelaki berangkat ke sawah dan ladang, para perempuan diam di dalam rumah dan memasak. Sebagian di antara mereka menghabiskan siang dengan menenun. Sore menjelang petang ketika para suami pulang, mereka berkumpul di dalam rumah.

Bagi yang tidak biasa, malam hari di Tanatoa pastilah menjadi malam yang sangat panjang dan membosankan. Sebabnya di kawasan ini tidak ada listrik. Penerangan yang dipakai sangatlah tradisional yakni buah kemiri yang dibakar. Sebagian saja yang berdiam di pinggiran kawasan yang terbilang agak modern karena berpenerang lampu minyak.

***

MASYARAKAT di kawasan Tanatoa adalah salah satu suku di Indonesia yang sangat teguh memegang dan mempertahankan adat-istiadat. Mereka berdiam dalam sebuah kawasan di Desa Tanatoa yang mereka sebut kawasan Tanatoa. Dalam kawasan Tanatoa ada sebuah kawasan inti yang terdiri atas 30 rumah. Kawasan inti ini adalah kawasan sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Selebihnya, kendati tetap mengikuti aturan bangunan lama, tetapi letaknya sudah meluas dan tersebar hingga di luar kawasan inti. Bahkan saat ini jumlahnya sudah berkembang menjadi satu desa yakni Desa Tanatoa.

Menurut cerita tetua adat di sana, Tanatoa lahir karena ketidakteraturan yang terjadi saat itu. Kehidupan dan manusia yang masih liar, akhirnya mendorong sejumlah orang membentuk suku ini berikut segala aturan di dalamnya. Hingga kini kehidupan keseharian di Tanatoa sangat tradisional dan sarat dengan hal berbau magis maupun mistis dan jauh dari modern. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa konjo.

Warna hitam, biru tua, dan putih yang menjadi warna wajib hanyalah salah salah satu dari sekian aturan yang sangat disakralkan di kawasan ini. Warna-warna lain, apalagi yang sangat mencolok seperti merah, kuning, ungu, hijau terang, dan sejenisnya adalah warna yang sangat tabu. Karenanya syarat paling pertama untuk menginjakkan kaki di Tanatoa, adalah mengikuti aturan ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Tanatoa memegang teguh pasanga ri kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka.

Pertama, ta'ngu'rangi mange ri turiea a'ra'na yang berarti senantiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak. Karena ingat berarti tidak akan melanggar aturannya.

Kedua, a'lemo sibatang, a'bulo sipappa', tallang sipolua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri yang artinya memupuk kesatuan dan persatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.

Ketiga, lambusu kigattang sa'bara ki peso'na, berarti bertindak tegas tapi juga sabar dan tawakkal.

Keempat, sallu riajuka, ammulu riaddakang ammaca' ere anreppe' batu, alla'buirururng, alla'batu cideng. Artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung.

Kelima, nan digaukang sikontu passuroang to ma' buttayya yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.

Kelima ajaran inilah yang jadi pedoman masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini pula lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi di antara mereka.

Menurut Rusman, salah seorang suku Tanatoa yang sudah lama berdiam di Makassar, selain kelima pesan ini, ada hal lain yang juga mengikat masyarakat yakni setiap warga Tanatoa harus kawin dengan sesama orang dalam kawasan. Yang kebetulan ketemu jodoh dengan orang luar kawasan, harus siap-siap meninggalkan kawasan. Pengecualian bila pasangannya mau mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan.

"Hal lain yang juga tabu adalah memasukkan barang-barang buatan manusia, pengaruh maupun bentuk-bentuk lainnya yang berbau manusia ke dalam kawasan. Tentu saja yang dimaksud manusia oleh mereka adalah orang-orang di luar kawasan. Siapa pun yang berminat dengan kehidupan modern atau ingin meninggalkan adat-istiadat Tanatoa, dipersilakan tinggal di luar kawasan. Bergaul keluar kawasan bahkan sekolah sebenarnya boleh-boleh saja, tetapi dengan syarat, kapan pun kembali ke kawasan, semuanya harus ditanggalkan dan kembali ke adat lagi," jelas Rusman.

Pelanggaran, apalagi bila dilakukan oleh yang sudah sangat paham dengan segala aturan, sama saja dengan melecehkan dan hukumannya sangat berat. Untuk segala pelanggaran dan hukuman, ada hukum adat yang berlaku di Tanatoa. Hukumannya berupa denda maupun hukuman lain yang lebih berat. Hukum denda bervariasi mulai dari yang paling ringan hingga yang berat.

Yang paling ringan atau disebut juga cappa' ba'bala adalah keharusan membayar denda sebesar 12 real. Satu tingkat di atasnya adalah tangga ba'bala dengan denda 30 real ditambah satu ekor kerbau. Yang paling tinggi adalah poko' ba'bala dengan denda 44 real ditambah seekor kerbau. Real dalam hal ini hanya nilainya saja karena uang yang digunakan adalah uang benggol.

"Hukuman ini berlaku untuk semua bentuk kejahatan baik itu pelecehan terhadap perempuan, pencurian, pelanggaran adat, memotong kayu di hutan adat dan lain-lainnya," ujar Beceng, pembantu Ammatoa yang menjabat sebagai Galla Puto, wakil/sekretaris Ammatoa.

Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yakni tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli biasanya dilakukan untuk kasus pencurian untuk mencari pelaku. Praktiknya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang sudah membara setelah dibakar.

"Biasanya yang bukan pelaku tidak apa-apa setelah memegang besi panas ini. Tangannya juga tidak akan luka bahkan tidak akan merasakan panas sedikit pun," jelas Beceng.

Bila terjadi si tersangka pelaku lari dari hukuman ini, dengan tidak hadir atau meninggalkan Tanatoa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu passau. Dalam hukuman ini, Ammatoa akan membakar kemenyan, membaca sejumlah mantra dan doa-doa dan mengirimkannya kepada pelaku. Biasanya tidak lama berselang, si pelaku akan sakit dan meninggal. Kalaupun tidak sakit, mereka umumnya meninggal secara tidak wajar.

"Tidak seorang pun yang bisa mengelak dari tunu passau. Mereka akan kena walau lari ke langit ke tujuh sekalipun atau sembunyi di dalam tanah," tambah Beceng

Hukum adat ini pula yang membuat masyarakat di Tanatoa sangat tertib, apalagi pemimpin di sana sangat tegas menegakkan hukum.

***

MASYARAKAT di Tanatoa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa dan mereka sangat patuh padanya. Kalau Tanatoa berarti tanah yang tertua, maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin tertua. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tanatoa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang. Adalah sesuatu yang tabu di Tanatoa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat tapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Allah.

Bila seorang Ammatoa meninggal, maka Ammatoa berikutnya baru akan ada lagi setidaknya tiga tahun setelahnya. Saat ini jabatan Ammatoa sedang kosong sejak Ammatoa ke-29 meninggal dunia April 2000. Dalam masa tiga tahun ini, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang lazim ada pada seorang calon Ammatoa. Hanya tetua adat yang biasanya bisa melihat ciri-ciri ini.

Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tanatoa. Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tanatoa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukan dan diyakini masyarakat memang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Pasalnya di Tanatoa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang.

Dikisahkan Rusman, setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas. "Kalau sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, "didatangkan" lagi. Di mana ayam itu bertengger maka, dialah yang jadi Ammatoa. Biasanya setelah ayam bertengger wajah orang tersebut langsung berubah-ubah dan sangat bercahaya. Setelah itu ayamnya langsung mati," jelas Rusman.

Ammatoa didampingi dua orang Anronta masing-masing Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi dan 26 orang pemangku adat. Ke-26 pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil/sekretaris dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Setiap pemangku adat mempunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda.

Dalam perkembangannya, kendati Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tanatoa, keberadaan pemerintah di luar kawasan tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah di luar Tanatoa juga sangat dihormati. Pemerintah dalam hal ini adalah camat, bupati, dan seterusnya.

Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan di mana pejabat pemerintah mendapat kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa. Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan kappara ini pula kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi kedudukannya.

Lazimnya kappara Ammatoa dan para pemangku adat berisi enam piring yang terdiri atas satu piring nasi dan lima piring ikan dan sayur. Tetapi, bila bersama pejabat pemerintah, kappara para pejabat ini lebih banyak yakni sembilan.

"Ini bukan berarti kami merendahkan Ammatoa. Kami hanya melihat bahwa pejabat pemerintah itu adalah orang berpendidikan dan sekolah karena itu harus dihargai," ujar Beceng.

Memang akhir-akhir ini sejumlah orang tua di Tanatoa semakin menyadari pentingnya pendidikan. Buktinya anak-anak di Tanatoa sudah banyak yang bersekolah. Bahkan sudah ada juga yang sekolah hingga perguruan tinggi dan menjadi insinyur.

Hal ini pula di antaranya yang membuat banyak orang berpikir bahwa Tanatoa sudah berubah. Begitu juga dengan kesediaan mereka menerima kedatangan orang luar untuk berkunjung ke dalam kawasan. Padahal sebelumnya ini sangat tabu.

"Perubahan hanya pada hal-hal seperti itu. Selebihnya baik itu menyangkut kepercayaan, adat istiadat, atau apa pun, tetap sama, tidak ada yang berubah," jelas Kahar Muslim, yang menjabat Galla Lombo.

* RENY SRI AYU TASLIM

from:http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0203/09/daerah/tegu25.htm

Luka Ammatoa Masih Menganga

Bagi komunitas Ammatoa, firman Tuhan turun ke bumi 40 juz, bukan 30. Mereka mengalami pengucilan dan kesewenangan, mulai dicap sesat hingga diserobot tanah leluhurnya.

Jika peraturan daerah (perda) syariat Islam di Bulukumba, Sulawesi Selatan, diterapkan dan dijadikan patokan, komunitas Ammatoa Kajang barangkali tak pantas disebut Islam. Orang Ammatoa tak kenal huruf Arab. Lagi pula, mereka punya paham sendiri soal kitab suci. Mereka punya Pasang Ri Kajang yang terdiri dari 10 juz.”Tuhan sesungguhnya menurunkan firman buat manusia setebal 40 juz. Yang 30 juz, al-Quran itu, ayat Tuhan buat orang lain. Sedangkan buat Ammatoa 10 juz saja, dan itu tertuang dalam kitab lontara Pasang Ri Kajang,” kata Puang Matoa, kepala komunitas di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Orang Ammatoa betul-betul memegang teguh kitab lontara itu. Pasang ri Kajang menyimpan pesan-pesan luhur. Yakni, penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya.

Di luar itu, Kajang juga punya kisah yang barangkali akan membuat sebagian orang Islam mencibir. Syahdan, tersebutlah ulama bernama Datuk Ri Tiro. Dia menyebarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan. Datuk Ri Tiro lalu berjumpa dengan Ammatoa. Maka, terjadilah perkelahian seru. Saking hebatnya, adu kadigdayaan itu tak memunculkan pemenang maupun pecundang. Kesaktian sama-sama seimbang.

Orang Ammatoa mendalami betul kisah ini. Mereka lalu memahami, tradisi dan Islam tak boleh, dan tak bisa, saling mengalahkan. Bagi mereka, Islam di Tana Toa adalah soal batiniah, sedang urusan syariat biar orang luar saja yang mengurus.

Kisah macam itu tentu saja suka dianggap irasional—sekadar bumbu hidup dari orang-orang yang selama ini lebih dianggap sebagai “minoritas terpencil”. Kerapkali mereka dinilai sebagai kelompok terbelakang, atau penganut “budaya rendah”. Tak sedikit yang mengira, Ammatoa di Kajang hanya sekumpulan suku terasing dengan paham Animisme.

Para pendukung syariat Islam, lebih-lebih, akan mencap orang Ammatoa sesat. Apalagi jika melihat orang Ammatoa yang tampaknya tak pernah salat, semakin teballah semangat mereka untuk melakukan jihad dan dakwah di tanah Kajang.

Pernah, di tahun 1980an, sekelompok mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar, datang ke Kajang. Mereka hendak melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), menyebarkan ajaran agama. Para mahasiswa lama beradu gagasan dengan orang Ammatoa. Mahasiswa-mahasiswa itu nyaris frustasi. Menurut mereka, nalar orang Ammatoa tak bisa diarahkan, orang Ammatoa tak bisa paham Islam.

Maka, setelah keluar dari tempat KKN itu, para mahasiswa menyebarkan ceritanya. Dan, kian kukuhlah citra bahwa Ammatoa benar-benar terbelakang. “Orang-orang Ammatoa adalah suku terpencil yang sungguh pantas untuk diubah,” kata sebagian peserta KKN.

Demikianlah orang Ammatoa dipersepsikan dan diperlakukan. Orang Ammatoa pun pernah mengalami nasib yang lebih pedih. Mereka dianggap sebagai kelompok yang perlu disingkirkan. Saat Kahar Muzakkar menguasai Sulawesi Selatan, orang Ammatoa dikafir-kafirkan. Mereka mendapat perlakuan tak ramah. Suatu ketika, pasukan Kahar Muzakkar tiba-tiba datang dengan parang dan pedang. Mereka meradang ketika melihat penduduk-penduduk desa di Tana Toa tak mau tunduk dan bayar upeti.

Begitu pula, lantaran punya keyakinan yang tak masuk daftar resmi negara, orang Ammatoa nyaris seperti tak dianggap sebagai warga negara. Belum lama ini, mereka harus menerima nasib pahit, untuk ke sekian kalinya. Tanah-tanah leluhur mereka diserobot, diklaim sepihak oleh orang lain. Yang menyedihkan, negara malah melindungi aksi-aksi penyerobotan itu.

Saat itu, ratusan peluru menghujani tubuh-tubuh ringkih petani tak berdosa, hanya karena mereka menuntut hak kepemilikan tanah. Penderitaan menjadi sempurna ketika pengadilan memenangkan PT Lonsum, sebuah perusahaan besar yang lama beroperasi di Bulukumba. Melalui bukti sertifikat, PT Lonsum berhasil memenangkan perkara. Perusahaan ini sukses mengantongi kepemilikan tanah tak kurang dari 500 hektar di Kajang, yang sebagian masih milik adat Tana Toa.

Melalui proses pengadilan, yang terlihat begitu jauh dari rasa keadilan itu, orang Ammatoa harus melepas tanahnya. Ya, orang Ammatoa hanya tahu tanah sebagai suatu yang sakral di Tana Toa. Tapi, itu ternyata tak lebih dihargai ketimbang tanah sebagai sebuah properti. Kitab lontara juga tak pernah dianggap, negara hanya mengakui sertifikat. Dan, bagi adat di Ammatoa, yang tak mengenal tanah sebagai barang yang diperjualbelikan, sertifikat tentu menjadi sesuatu yang aneh. Di Tana Toa, tanah adalah noktah budaya, yang tanpa itu istilah Ammatoa tak mungkin ada.

Tradisi semacam itu telah hidup ratusan tahun. Mereka tak pernah berulah, apalagi berniat membangun negara. Toh, meski usia adat Ammatoa jauh lebih tua dari negara RI itu sendiri, tetap saja hukum-hukum mereka tak pernah dihargai.

Dongeng rakyat, legenda, syair mistik milik Ammatoa juga cuma jadi bahan cemoohan oleh orang luar. Hanya Puang Matoa, si pemimpin Ammatoa, sendirilah yang mengerti bahwa mereka sendiri harus menyiasati hidup dan kehidupan Kajang yang kian didera dunia luar yang begitu cepat berubah. Kisah-kisah kecil itu hanya bagian dari upaya untuk bertahan dari goncangan dunia luar tersebut.Image

Dan, hingga kini, Ammatoa tetap hidup dengan tradisi itu, di pedalaman, nyaris terisolasi. Orang luar suak mengidentikkan kesunyian Tana Toa itu dengan ilmu gaib dan supranatural. Sebuah kawasan yang gelap, senyap, dan asing. Belum lagi kesan kumuh yang terus melekat. Kondisi semacam itu, serta kesan adanya aura mitis itu membuat orang luar mudah melabelinya sebagai “daerah tak beragama”. Tapi, sungguhkah?
“Tidak juga,” kata PM Laksono, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Ammatoa mengingatkan betapa penting perspektif hidup yang reflektif,” ujarnya. “Dalam suasana hidup yang seperti ini, Puang Matoa berani menjalani hidup paling miskin di antara yang miskin. Kalau semua orang ditakdirkan kaya, maka dia yang paling terakhir kaya.” Jadi, yang jadi masalah, negara, agama (Islam) atau Ammatoa? Desantara / M.Nurkhoiron

from:http://desantara.org/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=56&Itemid=53

Ruang Tamu Amma Toa

Kamis, 30-11-2006
Ruang Tamu Amma Toa
:: Muhammad Ridwan Alimuddin ::


Rumah Amma Toa di Kajang, Bulukumba
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.


Citizen reporter Muhammad Ridwan Alimuddin melalui pengamatan sederhananya tentang penataan ruang tamu, menuliskan perbedaan kehidupan masyarakat Kajang yang masih tinggal di dalam kawasan adat dengan yang sudah berbaur dengan masyarakat luar. Dituliskannya, bahwa ruang tamu adalah alat komunikasi sang pemilik rumah untuk menunjukkan identitasnya kepada tetamu. (p!)
Saya pertama kali datang ke kawasan adat Kajang, Bulukumba pada tanggal 16 September 2004. Untuk keperluan riset, dokumentasi dan pengambilan gambar kehidupan sehari-hari masyarakat di kawasan adat ini, kita harus meminta ijin terlebih dahulu kepada Amma Toa, sang pemimpin adat.

Setelah berjalan kaki beberapa ratus meter dari gerbang kawasan adat, melalui jalanan berbatu yang ditata rapi dan rimbun pohon bambu, saya tiba di perkampungan Suku Kajang yang masih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka. “Orang Kajang dalam”, demikian penyebutannya untuk membedakan dengan orang Kajang yang bermukim di luar kawasan adat.

Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Di tempat ini, terdapat tujuh rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Sederhana, tapi terlihat elegan layaknya sebuah benteng. Rumah Amma Toa berada di rumah keempat dari utara.

Pertama kali datang ke kawasan Amma Toa, otak saya yang dipenuhi “cerita menyeramkan” tentang Kajang, misalnya, “akan kena kutukan bila tak berbaju hitam, bila melanggar aturan, dan bila mengambil foto Amma Toa, film akan rusak”. Setelah menunggu beberapa saat, karena sedang berlangsung rapat adat di atas rumah Amma Toa, saya naik ke rumah Amma Toa. Rumah Amma Toa, baik dari luar maupun dari dalam sangat sederhana.


Pintu masuk
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.


Dindingnya hanya terbuat dari batang bambu bulat yang ditempa membentuk lembaran, lantai terbuat dari bilah-bilah bambu, tiang dari pohon bitti yang tak lurus, dan atap dari daun rumbia. Demikian juga dengan dinding di dalam rumah, terbuat dari bahan alami. Adapun bagian langit-langit rumah beralaskan papan, yangg dimanfaatkan sebagai ruang tempat menyimpan hasil panen (padi dan jagung). Alasan menggunakan papan agar bulir padi dan jagung dapat tersimpan rapi, tidak berjatuhan mengotori bagian tengah rumah.

Salah satu kekhasan rumah orang Kajang kawasan dalam, adalah dapurnya yang berada di ruang tamu. Dapurnya berada di sisi kiri pintu, berupa ruang kecil tempat menyimpan guci air minum, tempat mencuci piring, peralatan masak dan bahan masakan berada. Ada banyak makna mengapa dapur persis ada di ruang tamu, salah satunya adalah simbol betapa orang Kajang menghormati tamunya. Di lantai ruang tamu Amma Toa yang ditutupi tikar banyak terdapat bantal sebagai sandaran punggung tamu yang datang. Ya, rumah Amma Toa (dan rumah-rumah lain di dalam kawasan adat) tidak memiliki kursi. Di dinding rumah pun tidak tampak foto, gambar, dan hiasan lainnya, kecuali sarung hitam yang tergantung dan tanduk kerbau di salah satu tiang rumah. Kawasan adat ini pun belum dialiri listrik, jadi jangan berharap menemukan perangkat elektronik.



Seorang perempuan Kajang membersihkan beras di dapur yang ada di ruang tamu.
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.


Lebih Moderen
Kurang lebih satu bulan kemudian, di tengah bulan puasa dua tahun lalu, saya kembali datang ke kawasan adat Amma Toa. Kali ini saya sempatkan bermalam di salah satu rumah perangkat adat. Di dalam struktur formal pemerintahan, tuan rumah ini menjabat Kepala Dusun Benteng. Rumahnya merupakan rumah ketiga ke arah utara dari rumah Amma Toa.

Rumahnya sedikit “mewah” dibanding rumah Amma Toa. Dinding, salah satu petak lantai, dan sekat antar-ruang terbuat dari papan, bukan dari bambu. Juga agak “moderen”, karena salah satu dinding rumah dihiasi banyak foto yang berada di dalam bingkai berkaca yang sederhana, baik bingkai dari bahan plastik maupun dari bingkai yang terbuat dari batangan kayu es krim (orang menyebutnya “stik es miami”), jam dinding (yang masih terbungkus plastik!), dan kalender.

Salah satu tikarnya pun bukan dari buatan setempat melainkan tikar Kalimantan, yang terbuat dari rotan kecil dan warnanya kuning gading. Di rumah itu tergantung sarung hitam, ikat kepala, dan baju kaos dan jaket yang diangin-anginkan. Rumah kepala dusun sudah dihiasi tiga tanduk kerbau yang menandakan paling tidak sudah tiga kali upacara pernikahan di rumahnya. Di ujung tanduk kerbau tergantung parang dan songkok hitam.


Ruang tamu Kepala Dusun
Foto: Muhammad Ridwan Alimuddin.


Sama seperti rumah Amma Toa, dapur juga berada di sisi kiri rumah, tepat di samping pintu. Perbedaan dengan rumah Amma Toa, dapur sudah ditutupi sekat dari papan. Jadi kalau tidak menengokkan kepala ke dalam, suasana dapur tak terlihat. Di samping pintu masuk ke ruang bagian belakang terdapat tangga kecil yang menuju loteng. Tangganya unik, terbuat dari kayu lalu dibentuk sedemikian rupa menyerupai tanduk kerbau.

Ruang tamu orang Kajang di kawasan adat mempunyai beberapa fungsi, selain untuk menerima tamu juga untuk beristirahat (khususnya suami dan anak laki-laki), tempat makan, dan tempat kaum perempuan membersihkan beras.

Kajang Luar Sangat Moderen
Bagaikan bumi dan langit, rumah orang Kajang yang berada di luar kawasan jauh lebih “moderen dan kompleks”. Sebagai contoh adalah rumah salah satu anggota DPRD Bulukumba yang juga salah satu anggota dewan adat Kajang. Rumahnya terletak 3 kilometer dari rumah Amma Toa. Rumah dilengkapi beberapa kamar (ada khusus untuk tamu), sudah ada kamar mandi, tikar permadani, televisi 20 inci, dan beberapa peralatan rumah tangga modern. Ruang tamunya cukup megah, kursi empuk yang bagian atas sandarannya berukir kepala garuda, dan di dinding terpasang beberapa foto keluarga berukuran besar, yang lebih besar dari poster.

Rumah orang Kajang yang lain pun (di luar kawasan) tak berbeda jauh. Sudah menggunakan listrik, peralatan elektronik, dinding rumah dari papan yang tercat rapi, dan foto-foto yang memperlihatkan “dinamika anggota keluarga”.

Orang Kajang di dalam kawasan adat terkenal akan keteguhannya memegang tradisi. Tapi, perlahan tapi pasti, simbol-simbol modernisasi mulai menyusup. Hal ini dapat disaksikan dari ruang terpenting di rumah mereka, ruang tamu. Ya, rumah Amma Toa masih sangat sederhana, tanpa embel-embel di dinding rumahnya. Namun itu tak berarti rumah-rumah orang Kajang yang juga di dalam kawasan adat demikian juga adanya. Rumah dua anggota dewan adat Kajang (meski salah satunya berada tinggal di luar kawasan adat) mencerminkan hal itu.

Meski tanpa apa-apa di ruang tamunya, itu tak berarti tak menyimbolkan apa-apa. Dengan kata lain, pada saat yang sama, Amma Toa sedikit-banyak berperilaku sebagaimana pemilik rumah yang lain. Ia (juga) menyampaikan kepada orang yang hadir di rumahnya, bahwa “Inilah saya, hidup sederhana”.

Orang lain, lewat penataan ruang tamunya, menyampaikan “Saya intelektual, ada banyak buku di ruang tamuku” atau “Saya seorang haji, lihatlah fotoku waktu di Goa Hira dan di atas punuk unta”. Ada juga yang ingin menjelaskan, “Saya mendidik anak dengan baik, lihatlah foto-foto wisuda anakku” atau “Saya bukan orang sembarangan, ada fotoku bersama pejabat”. Di kampung saya di Mandar ada yang berpesan begini: “Saya sering menang lomba perahu, lihatlah pialaku berjejer di atas lemari” atau “Saya orang beragama, ada kaligrafi Allah dan Muhammad di dindingku”. Tapi tak sedikit juga yang mengkomunikasikan hal ini: “Saya mengidolakan artis AFI, makanya posternya ada di dinding ruang tamu”.

Nah, bagaimana dengan ruang tamu anda?(p!)

*Citizen reporter Muhammad Ridwan Alimuddin dapat dihubungi melalui email sandeqlopi@yahoo.com

from:http://www.panyingkul.com

Belajar pada Manusia Kajang

Belajar pada Manusia Kajang
(04 Jan 2009, 34 x , Komentar)

Judul: Kearifan Manusia Kajang, Penulis: Mas Alim Katu, Penerbit: Pustaka Refleksi, Terbit: Cetakan Kedua, 2008, Tebal: x + 96 halaman. Manusia Kajang lebih dikenal karena gaya hidupnya yang selalu menggunakan pakaian yang serba hitam.Mereka mendiami kawasan yang cenderung terisolasi. Karena itu acapkali disinyalir sebagai kelompok yang marginal. Dipandang tidak dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan, serta predikat lainnya yang berkonotasi “kuno” yang tidak perlu dilirik. Benarkah demikian?

Apakah tidak ada ruang-ruang dari kehidupan mereka yang dapat dijadikan anutan bagi kehidupan masyarakat manusia, terutama yang hidup di kota yang penuh dengan euforia hedonisme dan individualisme, kadang menjauhkan mereka dari hakekat dasarnya sebagai makhluk sosial.

Melalui buku ini, Mas Alim Katu, hendak menggugah pemikiran kita semua. Untuk mengurai unsur-unsur kearifan ini, ulasan buku ini secara sistematis terbagi dalam tiga bagian. Pada bagian pertama dikemukakan mengenai Pasang Ri Kajang sebagai salah satu jejak purba.

Uraiannya mencakup dimensi makna, asal usul, sistem kepercayaan, sistem ritus, sistem sosial, dan beberapa kisah lisan bijak.

Bagian dua buku ini mengungkapkan ihwal Pasang Ri Kajang dari pendekatan Folklor. Pendekatan ini memudahkan kita dalam memahami sejumlah nilai-nilai kearifan yang diasosiasikan dengan berbagai hal simbolik yang dituturkan dan diwariskan secara lisan.

Pada bagian akhir (tiga) buku, penulis menegaskan kembali berbagai perspektif dalam bentuk simpulan mengenai dunia manusia kajang serta ruang-ruang studi yang berkaitan dengan itu.
Berbagai kearifan yang bersemai di tengah kehidupan komunitas berbaju hitam dikemukakan di sini.

Sumber kearifan itu berasal dari “Pasang Ri Kajang”. Pasang dalam hal ini dipahami sebagai: nasehat atau wasiat, tuntunan atau amanah, renungan atau ramalan, dan peringatan (h.2). Nilai-nilai tersebut senantiasa dijunjung tinggi dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

Transformasinya dilakukan secara lisan dari satu generesi ke generasi berikutnya. Singkatnya, nilai-nilai itu telah menjadi milik diri dan komunitas ini.

Sumber segala unsur dalam kehidupan ini, menurut ajaran Pasang, berasal dari “Tu Riek Akrakna” yakni Tuhan Yang Maha Mutlak dan Maha Berkehendak. Oleh karena itu, manusia harus melaksanakan semua perintah-Nya dan menghindari semua larangan-Nya.

Nilai semacam ini berkorelasi dengan unsur-unsur Ketuhanan dalam beragama. Masih dalam ranah keyakinan beragama, manusia kajang juga percaya bahwa sesungguhnya kitab suci Alquran itu terdiri atas 40 juz. Sepuluh dari 40 juz itu adanya di Kajang, dan yang lainnya diturunkan di Tanah Arab. Karena itu, Pasang sering juga dipandang sebagai hakekat Islam (h.10).

Dalam kehidupan sosial, sebagaimana dalam Pasang, terdapat empat nilai yang harus diaktualisasikan. Pertama, kejujuran yang dituangkan dalam kalimat “lambusk-nuji nukaraeng” (karena kejujuranmu maka engkau menjadi penguasa).

Kedua, kesabaran yang diungkapkan dengan “sabbarak-nuji nu guru” (lantaran kesabaranmu maka engkau menjadi guru). Ketiga, konsekwen yang dilukiskan dengan “ri gattanuji nu adak” (lantaran ketegasanmu maka engkau menjadi pemimpin adat). Keempat, nilai tanggung jawab terukir pada “pesona nuji nisanro” (lantaran engkau tenggang rasa maka engkau menjadi dukun).

Selain perilaku yang dianjurkan, Pasang juga menggariskan tutur kata dan perilaku yang harus dihindari atau tidak dilakukan. Dalam hal asmara, adalah dianggap “sirik” bila seorang gadis berdua-duaan dengan seorang jejaka yang bukan familinya (h.44).

Adalah “sirik” ketika seorang perempuan yang bertatapan dengan seorang pria, lantas ia meludah. Terdapat juga sejumlah pantangan, misalnya tidak menggunakan dan membawa perhiasan emas ke dalam wilayah Tanah Kamase-mase.

Manusia Kajang juga memiliki pandangan dan cara yang sangat arif dalam melestarikan lingkungan hutan dan alam sekitarnya. Pendek kata, dengan membaca buku ini Anda akan menemukan sejumlah kearifan yang mungkin saja sudah jarang dijumpai dalam rona kehidupan, namun hal itu masih terpelihara dan diimplementasikan oleh Manusia Kajang.

Akhir kata, kelompok sosial yang kadang disinyalir sebagai yang “terbelakang” ini ternyata lebih manusiawi dibandingkan manusia modern yang masih menanggap dirinya lebih unggul dan maju, tetapi sesungguhnya telah jauh dari sifat-sifat kemanusian, seperti tampak pada kehidupan Manusia Kajang. Saatnya kita [harus] belajar pada Manusia Kajang!.

Abd. Rahman Hamid
Staf Pengajar Sejarah FIS UNM dan FIB UNHAS
(abdul-pasca@yahoo.com)

Adat Amma Toa Kajang

Kawasan Adat Amma Toa Kajang

    Berkunjung ke Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, belum lengkap tanpa memasuki kawasan adat Ammatoa, mengunjungi peninggalan megalitik milik masyarakat kajang dan mempelajari kearifan lokal masyarakatnya dalam melestarikan budaya dan adat istiadatnya yang telah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun. Memasuki daerah ini akan dicirikan dengan berbagai macam seragam (pakaian, sarung dan penutup kepala) khas kajang yang serba hitam.

    Kawasan adat masyarakat Kajang berada dalam wilayah administrasi desa Tana Toa, berjarak 56 km dari kota Bulukumba. Karena letaknya yang berada di desa Tana Toa maka kawasan adat ini juga dikenal sebagai kawasan adat Tana Toa.

    Masyarakat di kawasan Tana Toa adalah salah satu suku di Insonesia yang sangat teguh memegang dan mempertahankan adat istiadat. Untuk memasuki kawasan adat Tana Toa, kita harus melalui pintu masuk dengan terlebih dahulu menggunakan pakaian adat Kajang berwarna khas hitam. Kawasan inti pemukiman masyarakat Kajang berada 800 m dari pintu gerbang yang ditempuh dengan berjalan kaki. Kawasan adat Tana Toa ini sangat tertutup dan daerahnya disebut kawasan "Kajang Dalam", masyarakat yang berada di kawasan "Kajang Dalam" ini masih benar-benar mengikuti ajaran dan adat tradisi leluhurnya sehingga masih terjaga keasliannya, dalam kawasan "Kajang Dalam" ini sangat tabu tentang segala hal-hal yang berbau modernisme, sehingga kawasan adat Tana Toa ini sangat tradisional sekali. Sedangkan kawasan "Kajang Luar" diperuntukkan bagi masyarakat kajang yang sudah tersentuh sendi-sendi kehidupan modernisme, meskupun demikan dalam beberapa hal masyarakat "Kajang Luar" tetap mematuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku seperti di kawasan adat "Kajang Dalam".

    Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat suatu kawasan inti yang berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka. Letaknya berada di Dusun Benteng.

    Tana Toa lahir karena ketidakteraturan yang terjadi di masa lampau. Seluruh kehidupan di dunia termasuk manusia pada waktu itu masih dalam keadaan liar. Keadaan ini mendorong sejumlah orang untuk membentuk sebuah komunitas berikut segala aturan yang ada didalamnya yang sampai saat ini masih bertahan dan tetap dilestarikan oleh masyarakat adat.

    Bahasa yang digunakan oleh orang Kajang sehari-hari adalah Konjo. Bahasa konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang yaitu:

    1. ta’ngurangi mange ri turiea a’ra’na, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
    2. a’lemo sibatang, a’bulo sipappa’, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
    3. lambusu kigattang sa’bara ki peso’na, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
    4. Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca’ ere anreppe’ batu, alla’ buirurung, alla’batu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
    5. Nan digaukang sikontu passuroangto ma’buttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen

    Kelima ajaran inilah yang menjadi pedoman masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi diantara mereka. Lebih dari itu adalah bentuk kasih sayang terhadap lingkungan mereka. Implementasinya dapat kita lihat dengan adanya hukum adat yang melarang mengambil hasil hutan dan isinya secara sembarangan. Masyarakat adat Tana Toa sangat peduli terhadap lingkungannya terutama pada kelestarian hutan yang harus tetap dijaga.

    Dalam hal perkawinan, masyarakat adat Tana Toa terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat. Hal tabu lainnya adalah memasukkan barang-barang buatan manusia yang tinggal di luar kawasan adat serta pengaruh maupun bentuk-bentuk lainnya ke dalam kawasan adat Tana Toa.

    Masyarakat adat Tana toa hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan masyarakat adat Tana Toa sangat sederhana, bahkan rumah mereka pun sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga berikut pintu masuk dibagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa Orang Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang.

    Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Jika Tana Toa berarti tanah yang tertua maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang tertua. Ammatoa memegang tumpuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Allah SWT.

    Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.

    Ammatoa didampingi oleh dua orang Anronta, masing-masing Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi serta 26 orang pemangku adat. Ke-26 orang pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil atau sekretaris dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan.

    Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat hutan adat yang disebut juga hutan pusaka seluas 317,4 Ha. Hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu gugat, sehingga tidak diperbolehkan kegiatan apapun yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud antara lain penebangan kayu, perburuan hewan dan membakar hutan.

    Setiap pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan adat Tana Toa akan mendapatkan sanksi berupa hukum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa’ ba’bala adalah keharusan menbayar denda sebesar 12 "real" ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat diatasnya adalah tangga ba’bala dengan denda 33 "real" ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko’ ba’bala yang diharuskan membayar 44 "real" ditambah dengan seekor kerbau. "real" yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang digunakan adalah "uang benggol" yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan.

    Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.

    Selain hutan adat terdapat juga hutan kemasyarakatan seluas 144 Ha. Hutan ini boleh digarap atau ditebang pohonnya, tetapi dengan syarat harus menanam terlebih dahulu bibit pohon yang jenisnya sama dengan pohon yang akan ditebang, bibit pohon ini harus ditanam disebelah pohon yang akan ditebang. Selain ini ada pula yang disebut hutan rakyat seluas 98 Ha. Hutan rakyat digarap secara bersama-sama oleh masyarakat dan hasilnya dinikmati bersama-sama.

    Bagi masyarakat Tana Toa, bumi merupakan warisan nenek moyang yang sangat berkualitas dan seimbang. Untuk itu anak cucunya berhak dan harus mendapatkan kualitas yang sama persis. Ungkapan tersebut mengandung makna filosofis yang menempatkan bumi sebagai anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya karena menjadi sumber segala kehidupan, untuk itu menjaga alam dan keseimbangannya menjadi syarat yang utama.

    Sebagai rasa syukur atas kemurahan alam, setiap akhir tahun masyarakat kawasan adat Tana Toa melakukan upacara andingingi yang artinya mendinginkan, yang bermaksud untuk mendinginkan alam. Artinya ada saatnya alam untuk diistirahatkan dan didinginkan, setelah diolah dan diambil isinya sepanjang tahun.

    From:Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Bulukumba

Budaya Lokal Menjaga Alam

Budaya Lokal Indonesia Menjaga Alam

http://beritahabitat.net/2007/08/26/budaya-lokal-indonesia-menjaga-alam/

Sebenarnya bangsa Indonesia dengan beragam budaya sudah membuat peraturan-peraturan adat tentang kelestarian alam dan hutannya. Pola hidup selaras dengan alam sudah dipraktikkan sejak dulu. Alam dan satwa liar bagi mereka merupakan makrokosmos yang menguasai kehidupan manusia.

Kehidupan yang saling bergantungan, mata pencarian disandarkan pada hasil alam, baik hutan, laut maupun tanah atau hewan yang pantas dan layak untuk mereka. Dalam kondisi ini, mereka beruha untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup beserta isinya secara intensif. Meminjam istilah petuah masyarakat Ammetea, Suku Kajang Sulawesi Selatan : Jika tanaman menjadi, ikan bersibak, air tuak menetes, dan kayu bersemi, air mengalir terus, maka engkau menjadi karaeng terus menerus.

...

Amatoa yang Hilang

17.09.01 01:45
Kesederhanaan Kajang dan Amatoa yang Hilang

Liputan6.com, Bulukumba: Tak ada yang lebih menyedihkan ketimbang sebuah tragedi kematian. Itulah sebabnya, ketika amatoa alias pemimpin Suku Kajang di Tanatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, meninggal dunia, duka pun segera menyergap seluruh penduduk. Rasa sedih mendalam yang menyelimuti orang Kajang ini bisa dimaklumi. Soalnya, selain menganggap sebagai pemimpin, mereka juga menempatkan amatoa sebagai orang suci yang mengabdikan diri untuk menjaga kemurnian Tanatoa.

Kini, sudah lebih 100 hari berselang amatoa berpulang. Warga Tanatoa pun memanjatkan doa kepada Turek Arakma, agar secepatnya memberikan pengganti amatoa yang baru. Masyarakat Kajang meyakini, amatoa hidup sebagai pertapa, mengisolasi diri, dan hanya muncul pada kesempatan tertentu atas keinginan sendiri. Bahkan, setiap kemunculan amatoa juga dianggap sebagai sebuah peristiwa besar.

Adat Kajang percaya, suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Arakma atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung kwajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa.

Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai amatoa yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian. Bahkan, nama burung kajang menjelma menjadi nama komunitas mereka. Komunitas yang menjaga kemurnian dirinya sebagai manusia dengan cara hidup yang penuh kebersahajaan.

Mengunjungi wilayah Tanatoa di Kabupaten Bulukumba, Sulsel, akan terasa kental kesan kebersahajaannya. Betapa tidak, siapa pun yang masuk ke desa tersebut harus mengenakan baju kain dan ikat kepala warna hitam. Memang, tata cara berpakaian itu diwajibkan, layaknya warga desa yang telah berangkat dewasa. Kesederhanaan ini memang sudah menjadi ciri khas warga Kajang.

Jika menelisik lebih dalam keseharian Suku Kajang, ternyata kesederhanaan tersebut bukan saja terlihat dari busananya. Bayangkan saja, kelompok tersebut tak memiliki benda-benda produk budaya modern di kediamannya masing-masing. Bahkan, segala keperluan hidup mereka penuhi dari upaya sendiri. Misalnya, para wanita terbiasa mengolah dan memasak makanan sendiri. Tak hanya itu, kaum hawa Suku Kajang menenun kain untuk memenuhi keperluan sandangnya. Sementara para lelaki berternak, berladang, dan menjalankan fungsi sosial di kampung mereka.

Seiring perjalanan waktu, Suku Kajang ternyata telah mempertahankan tradisi turun temurun itu selama ratusan tahun. Buktinya, tatkala dunia di sekitarnya berubah drastis, mereka tetap hidup dalam kesahajaan. Apalagi, seluruh masyarakat Kajang meyakini bahwa mereka memang ditakdirkan menjadi benteng moral, terutama menjaga kemurnian akhlak para insani di muka bumi.

Di perkampungan mereka, Tanatoa, setiap orang tak diperkenankan saling menyakiti, bahkan terhadap binatang atau pun tumbuhan. Selain itu, mereka harus mendarmabaktikan hidupnya untuk menjaga keseimbangan alam. Kecuali milik sendiri, setiap warga sama sekali tak boleh menebangi pohon atau pun membunuh binatang liar di hutan. Bahkan, membuat galian atau sumur juga menjadi larangan, soalnya kegiatan itu berarti menyakiti ibu bumi.

Kebudayaan mereka memang begitu halus, bahkan untuk mengingatkan kesalahan di antara warga, masyarakat Kajang mempergunakan berbagai kiasan yang berbau sindiran. Simak saja, untuk menyindir kebiasaan buruk berjudi sabung ayam yang menjadi penyakit sosial di sebagian besar masyarakat Sulsel, mereka mengungkapkannya dalam sebuah tarian yang disebut Tari Pasupi. Dengan alunan gamelan bertalu-talu, tarian pun dimulai. Mengiringi tarian itu, terdengar lagu sindiran yang dilantunkan sejumlah orang dalam bahasa mereka.

Bagi orang Kajang, kesederhanaan memang telah menjadi sebuah filosofi. Keyakinan sebagai keturunan manusia pertama di muka bumi membuat mereka harus mempertahankan kemurnian hidup, menjaga bumi, dan menata moralitas sosial. Kendati tak memiliki aturan tertulis, pedoman hidup mereka telah tertata dan mengakar. Kalau pun ada persengketaan yang tak terpecahkan, mereka memohon kepada amatoa untuk memecahkan masalahnya, kendati suasana duka masih begitu kental, setelah amatoa meninggal dunia.(ANS/Tim Potret)

Jejak Kegemilangan Tana Toa

18.02.06 17:00
Jejak Kegemilangan Nenek Moyang di Tana Toa
Liputan6.com, Bulukumba: Bila nama suku Kajang disebut, masyarakat Sulawesi Selatan boleh jadi menunjuk ke sebuah desa yang terletak di Kabupaten Bulukumba. Ini memang wajar, soalnya suku tersebut memiliki daya tarik tersendiri. Sebagai suku yang cukup terpencil, hingga kini masyarakat adat Kajang masih memelihara nilai tradisional dengan menjaga kesakralan tokoh ammatoa atau pemangku adat.

Desa Tana Toa, sepintas memang tak berbeda dengan kampung lain di Bumi Celebes. Di sana, aktivitas diawali dari sebuah mata air. Memang, nyaris tiada lagi pertanda yang menggambarkan warga tujuh dusun di Desa Tana Toa atau lebih dikenal sebagai suku Kajang adalah leluhur raja-raja Sulawesi Selatan.

Dongeng di Tanah Kajang mengisahkan, dahulu kala langit dan bumi menyatu berbentuk sebuah pattapi atau tetampah. Syahdan, ketika mula taunna atau manusia pertama muncul, langit dan bumi terpisah. Peristiwa tersebut mengilhami penamaan Kajang yang berarti memisahkan. Orang Kajang percaya, mula taunna muncul di situs Possi Tana di Desa Matoangin, sekitar sepuluh kilometer dari kawasan adat Tana Toa. Dan beberapa bukti artefak dan batu andesit menunjukkan, kawasan ini pernah menjadi sentral berbagai upacara adat.

Suku Kajang mendiami Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, sekitar 250 kilometer dari Kota Makassar, Sulsel. Berdasarkan lokasi permukiman mereka, masyarakat suku Kajang terbagi dalam dua kelompok, yakni Kajang Luar dan Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam mendiami tujuh dusun di Desa Tana Toa. Adapun pusat kegiatan komunitas suku Kajang berada di Dusun Benteng, yang ditandai dengan kehadiran rumah ammatoa, sang pemimpin adat.

Orang Kajang meyakini, ammatoa merupakan orang yang dipilih Turie A`ra`na atau Yang Maha Kuasa. Atau sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sesuai pandangan panuntung, sehingga mereka pun benar-benar menjaga kesucian tokoh tersebut. Dan tak seorang pun diperkenankan memiliki rekaman wajahnya.

Dahulu, masyarakat Kajang disebut-sebut beragama panuntung atau tuntutan. Seiring perubahan zaman, mereka mengaku memeluk agama Islam. Hanya dalam praktiknya, mereka mengiblatkan diri pada Passang Ri Kajang atau pesan-pesan suku Kajang sebagai payung kehidupan. Pandangan panuntung ini mengharuskan orang Kajang hidup prihatin dan apa adanya atau kemase-masae.

Suku Kajang identik dengan pakaian hitam sebagai simbol kesederhanaan dan peringatan akan adanya kematian atau sisi gelap. Namun saat ini hanya ammatoa dan para pemuka adat yang tetap berpakaian hitam dan menjauhi pengaruh hidup modern. Adapun anggota suku Kajang lainnya hanya mengenakan pakaian hitam saat upacara adat atau menghadap ammatoa.

Kepatuhan terhadap ajaran kemase-masae itu bukan cuma ditunjukkan dengan pakaian, tapi juga kehidupan malam yang menghindarkan lampu-lampu bercahaya terang. Dan di luar kekayaan adat yang sengaja terus dipelihara, suku Kajang memiliki catatan prasejarah yang menakjubkan. Penelitian arkeologis dari berbagai perguruan tinggi ke kawasan ini memberikan suatu bukti adanya peradaban kuno.

Adalah Yadi Mulyadi dan Aspriyanto yang meneliti peninggalan masa lampau di Tanah Toa. Kini, dua arkeolog dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, itu kembali menelusuri hasil penelitian mereka. Kali ini dua peneliti muda di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Unhas, tersebut ditemani Muhammad Abbas Nur, seorang warga suku Kajang.

Sesampai di gerbang kawasan adat Tana Toa, rombongan peneliti harus melanjutkan dengan jalan kaki untuk menuju Dusun Benteng. Maklum, kendaraan dilarang memasuki kawasan adat. Di sepanjang jalan terdapat rumah adat atau bolah yang seluruhnya menghadap ke arah barat. Arsitektur rumah pun sama, yakni terdiri atas para atau bagian atas, kale bola atau bagian tengah, dan siring atau bagian bawah.

Penduduk setempat menggantungkan kebutuhan airnya pada mata air atau sumur. Satu mata air diperuntukkan bagi seluruh warga dusun. Sumur Tunikeke, misalnya, yang menjadi tempat mencuci, mandi, dan minum bagi ratusan orang Dusun Benteng.

Sebelum menelusuri situs-situs di dalam lingkungan Dusun Benteng, dua arkeolog itu mendatangi rumah ammatoa. Kunjungan ini bertujuan meminta restu atas kegiatan penelitian. Bagi suku Kajang, ammatoa memiliki peran sentral untuk semua kehidupan. Ia merupakan pemimpin agama, adat, hakim, sekaligus dokter. Ammatoa tak memiliki kegiatan lain, selain menemani dan membantu memutuskan berbagai persoalan di komunitasnya. Jadi bisa dibayangkan bila sang ammatoa tiada, maka dukacita pasti menyelimuti seluruh masyarakat adat Kajang, seperti yang terjadi beberapa tahun silam [baca: Kesederhanaan Kajang dan Amatoa yang Hilang].

Dari rumah ammatoa, rombongan peneliti menuju sebuah pemakaman warga suku Kajang. Kompleks kuburan merupakan bukti kuno yang lebih terjaga keasliannya dibandingkan rumah atau simbol-simbol adat lainnya. Buat mendapatkan bukti peradaban di masa lampau, biasanya, para arkeolog mengawalinya dari lokasi semacam itu.

Di lokasi pemakaman lain, terdapat sebuah kuburan seorang ksatria. Makam ini tidak terurus, namun Yadi Mulyadi dan Aspriyanto menemukan identitasnya. Menurut mereka, kuburan berukuran besar tersebut menunjukkan mendiang adalah orang berpengaruh di masyarakat. Bukti lainnya, jenis batuan yang dijadikan pusara bukan berasal dari lokasi setempat, melainkan dari daerah lain. Warna putih dan hitam pada makam itu juga membuktikan bahwa masyarakat Kajang saat itu telah mengenal teknologi pewarnaan batu.

Memang, menelusuri jejak-jejak arkeologis di kawasan adat Tana Toa, seakan memasuki kehidupan masa lampau sekaligus zaman sekarang. Di satu sisi, situs-situs yang hanya dijaga warga memberi gambaran suku Kajang tempo dulu. Namun, berbagai kegiatan warganya menunjukkan potret kehidupan sebaliknya. Di siang hari, kaum Adam di kawasan ini pergi ke sawah atau ladang. Sementara, kaum Hawa menenun kain di bagian siring rumah masing-masing.

Hasil tenun penduduk Kajang bukan hanya memenuhi kebutuhan warga setempat, tapi juga dijual ke pendatang atau pelancong. Sedangkan mata pencaharian utama masyarakat Kajang adalah bertani dan berkebun. Ketika musim tanam tiba, mereka berbondong-bondong ke sawah yang jaraknya cuma beberapa kilometer dari rumah. Biasanya, mereka memanfaatkan kuda sebagai kendaraan ke sawah atau ladang dan kerbau sebagai hewan pembajak. Orang Kajang yang tidak mempunyai sawah atau ladang biasanya bekerja pada pemilik sawah.

Benda-banda peninggalan arkelogis suku Kajang bukan hanya berada di lingkungan Desa Tana Toa. Di Dusun Lembang Lohe, misalnya. Di kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Desa Tana Toa itu terdapat makam Tonteng Daeng Mattarang, seorang bangsawan suku Kajang di zamannya.

Beragam kekayaan masa lampau di Tanah Kajang itulah yang membuat orang Kajang percaya bahwa mereka bukan hanya memiliki sejarah peradaban nan panjang. Nenek moyang mereka sekaligus leluhur raja-raja di Sulawesi Selatan.

Terlepas dari temuan arkeologis, kini seluruh anggota suku Kajang benar-benar telah memasuki kehidupan modern. Tengok saja kegiatan ekonomi di pasar tradisional. Ini menunjukkan mereka bukanlah suku yang terasing atau terpencil. Buktinya, orang Kajang Dalam juga bertransaksi jual beli seperti warga Kajang Luar. Dan di pasar itulah, semua barang-barang dari kota seperti video cakram padat (VCD) dengan mudah didapat.

Walau begitu, keistimewaan warga Kajang Dalam tetap terjaga dengan mempertahankan identitas pakaian hitamnya di antara orang Kajang Luar. Bahkan, masyarakat Kajang Dalam yang sedang berduka tetap tampil dengan kain menutupi tubuhnya dari kepala hingga badan. Mereka seolah berada di dalam komunitasnya.

Satu-satunya sisi buram atas pengabaian prinsip kemase-masea atau prihatin dan apa adanya adalah meningkatnya pola pikir komersial. Di Dusun Benteng, kini pengunjung bisa mendapatkan hiburan berupa teater rakyat pabitte passapu asalkan mengeluarkan sejumlah uang. Padahal dahulu, kesenian ini merupakan bagian dari kegiatan spiritual yang di dalamnya masih mengandung unsur gaib.

Berbagai ritual adat seperti upacara kalomba juga memperlihatkan sisi keterbalikan atas prinsip kemase-masea. Contohnya, upacara pelepasan masa asuh dari dukun persalinan kepada keluarga Hatto di Dusun Sobbu. Kegiatan tersebut menelan dana hingga Rp 50 juta. Tak mengherankan, bila keluarga Hatto harus mempersiapkannya selama berbulan-bulan. Dan di penghujung acara, kerabat keluarga Hatto memberikan kado kepada anak yang di-kalomba dengan sejumlah uang bernilai jutaan rupiah. Inilah wujud peradaban suku Kajang masa kini.(ANS/Syaiful H. Yusuf dan Teguh Prihantoro)

http://www.liputan6.com/mobile/?c_id=8&id=117906



Ritual Panganro

Ritual Panganro Suku Kajang Dalam
Rabu, 30-01-2008

PANGANRO adalah ritual memanjatkan doa bersama yang dilakukan seluruh masyarakat Suku Kajang Dalam, Kabupaten Bulukumba, untuk memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa. Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki waktu pasti. Ritual ini dilaksanakan jika Amma Towa menganggap perlu memohon keselamatan dan terhindar dari bahaya.

Ritual ini bisa juga dilaksanakan bila ada warga setempat yang ingin melepas nazar karena terhindar dari suatu bahaya. Tetapi, pelaksanaannya tetap atas izin Amma Towa. Waktu pelaksanaannya pun ditentukan Amma Towa.
Menjelang prosesi pemilihan Amma Towa, jika Amma Towa sebelumnya telah mangkat, ritual ini terlebih dulu dilaksanakan. Tujuannya, untuk memohon petunjuk Yang Kuasa dan meminta dijauhkan dari segala bahaya dan bencana.
Ritual Panganro yang kami saksikan, Selasa (22/1) malam lalu itu adalah ritual melepas nazar tiga orang warga suku ini yang masih berhubungan saudara, karena terlepas dari bahaya. Lokasi prosesi ritual dilaksanakan di depan rumah salah satu warga yang bernazar ini, yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah Amma Towa.
Informasi yang saya dapatkan, ketiga warga yang tidak disebutkan
namanya itu, melakukan ritual ini karena telah terlepas dari bahaya pada tragedi Lonsum berdarah 23 Juli 2003 lalu, yang menimbulkan korban tewas dua orang dan puluhan luka-luka. Sejumlah warga dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Sebab, sejak peristiwa itu hingga sekarang mereka tidak pernah kembali
ke rumah.

Saat peristiwa itu, ketiga warga yang melakukan hajatan ini, dikabarkan sempat menghadapi situasi berbahaya. Mereka pun bernazar akan melaksanakan ritual ini, jika dapat terlepas dari bahaya itu.
Persiapannya pun membutuhkan waktu sekitar tiga bulan setelah
Amma Towa telah menetapkan waktu pelaksanaan ritual. Sepekan sebelum ritual ini dilaksanakan, sudah dilaksanakan sejumlah prosesi menyambut hari H pelaksanaan ritual. Rumah warga yang akan menggelar ritual ini pun mulai ramai dikunjungi warga.
Di depan rumah warga yang melakukan hajatan, dibangun sebuah pondokan bambu yang cukup luas. Berukuran sekitar 15 x 10 meter dengan tinggi atap tiga meter dari tanah dan dua meter dari lantai pondokan yang dibuat dari bambu.
Di pondokan inilah ritual memanjatkan doa-doa dilaksanakan oleh para pemangku adat dan empunya hajatan dipimpin oleh Amma Towa.
Sementara saya bersama 10 wartawan dan aktivis LSM berbaur dengan warga suku Kajang Dalam duduk bersila ditikar pandan yang digelar di depan pondokan.
Sayangnya, kami tidak diperkenankan mendekat untuk melihat
ritual berdoa yang sedang berlangsung di pondokan itu. Kehadiran kami dilokasi ritual melahirkan tatapan tajam dari warga suku ini. Meski begitu, mereka tetap ramah menyambut kami. Khususnya, dari pihak keluarga yang melakukan hajatan. Satu persatu, seluruh keluarga dari penyelenggara hajatan menghampiri kami dan menyodorkan sebuah bakul yang
terbuat dari pandan berukuran satu liter. Bakul itu berisi kapur, daun sirih dan beberapa benda lainnya yang saya tidak tahu namanya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut orang-orang itu saat menyodorkan bakul.
Kami hanya melihat yang dilakukan warga saat disodorkan bakul serupa, untuk mengetahui apa yang harus kami lakukan. Kami kemudian menyentuh bakul itu dengan posisi kedua tangan seperti berdoa. Setelah itu, kami memanjatkan doa dalam hati. Setelah selesai, tangan disentuhkan ke dada, dahi kemudian
mengusap wajah tanda doa telah selesai. Ritual ini merupakan ucapan selamat datang dari pemilik hajatan kepada tamu-tamu yang datang.
Dengan disodorkan bakul ini berarti kami diterima untuk mengikuti ritual Panganro yang mereka selenggarakan.
Beberapa warga lainnya bertugas membawakan ballo inru (tuak dari sari pohon aren) kepada kami dan warga lainnya. Ballo ini ditempatkan di tempurung kelapa yang merupakan gelas khas warga setempat.
Tidak banyak ballo yang disajikan ke kami. Namun, bagi saya sudah cukup untuk membuat kepala puyeng. Meneguk ballo ini pun cukup membuat badan hangat setelah beberapa jam menahan dingin.
Sekitar pukul 24.00 wita, saat prosesi doa bersama hampir selesai
dilaksanakan, langit yang semula cerah dan bulan yang sudah bulat penuh, tiba-tiba tertutup awan gelap. Di sebelah barat, tampak cahaya kilat.
Entah, apa peristiwa alam itu kebetulan terjadi atau memiliki hubungan dengan ritual yang sedang dilaksanakan salah satu komunitas adat yang ada di Indonesia ini.
Usai Amma Towa bersama pemangku adat Suku Kajang Dalam melaksanakan doa bersama, para wanita suku ini, yang berbaju bodo hitam dan sutera hitam, menyajikan makanan. Setiap orang mendapat satu bakul nasi ukuran lima liter dan semangkuk daging kerbau dimasak air yang ditempatkandi tempurung kelapa. Sambil berbisik, saya dan beberapa rekan sempat bercanda, nasi
yang bisa dimakan empat sampai lima orang itu harus dihabiskan sendiri. Kalau tidak, akan tertimpa sesuatu. Kami tentu tidak mempercayainya.
Untuk air minum ditempatkan di dalam buah bila yang isinya telah dikeluarkan kemudian dikeringkan. Buah bila seukuran bola kaki ini merupakan jeriken Suku Kajang Dalam. Kami pun meminum air putih melalui lubang kecil yang ada di buah bila. Sebuah jeriken alam berisi air minum ini untuk dikonsumsi tujuh sampai 10 orang.
Sekitar pukul 01.00 wita, prosesi ritual Panganro telah selesai. Sambil beriringan, kami kembali ke rumah Amma Towa untuk berisitirahat. Di rumah ini kami diberitahu bahwa besok pagi, ritual akan kembali dilanjutkan.
Namun lokasinya di dalam hutan yang oleh warga setempat sangat dikeramatkan. Dan kami tidak diizinkan untuk ikut masuk ke hutanmenyaksikan ritual lanjutan yang dianggap sebagai puncak ritual Panganro ini. Tidak ada yang dapat memberi keterangan ritual apa yang akan dilakukan di dalam hutan. Sebab, hanya beberapa orang saja dari suku ini yang pernah masuk ke dalam hutan untuk menyaksikan ritual ini.



http://www.tribun-timur.com/view.php?id=61891

Kajang Bulukumba

Sunday, January 6th, 2008

Suku Kajang adalah sub etnis dari suku Bugis yang masih murni. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Bugis dialek Konjo.
Masyakat Adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Towa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Tuli, Timur berbatasan dengan Limba, sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa dan sebelah Barat berbatasan dengan Doro.
Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa diwilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe.

AGAMA
Masyarakat Kajang seluruhnya beragama Islam tetapi mereka tidak melaksanakan ajaran agama tersebut seperti penganut agama Islam pada umumnya. Mereka tidak melakukan Sholat 5 waktu. Sholat hanya dilakukan di bulan Ramadhan. Selain itu mereka juga tidak melakukan ibadah Haji.
Suku Kajang dipimpin oleh kepala suku yang disebut Amma Toa. Perkembangan manusia diyakini bermula dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung yang “turun” di hutan Tombolo [Tana Toa]. Dunia kemudian menyebar luas dari sana.
Saat ini Amatoa dipilih melalui acara adat yang dilakukan di dalam hutan. Pada acara inti ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa calon Amatoa adalah orang tepat. Hal ini dilakukan karena orang Kajang percaya bahwa Amatoa tidak dipilih oleh manusia. Seorang Amatoa harus keturunan Tukintara yang artinya keturunan asli Kajang. Selain itu Amatoa juga harus pintar karena dia bertanggung-jawab membuat aturan dan menjalankan adat dan istiadat yang sudah ada turun menurun.

CARA HIDUP
Suku Kajang Dalam hidup tradisional dan menutup diri dari pengaruh modern termasuk listrik dan peralatan-peralatan modern lainnya. Mereka juga menenun sendiri kain sarung yang mereka gunakan sebagai pakaian. Walaupun benang yang digunakan mereka beli di luar desa, proses pewarnaan dan penenunan dilakukan oleh perempuan Kajang sendiri. Masyarakat Kajang harus memakai pakaian atau kain berwarna hitam. Pada anak perempuan mereka wajib mengenakan warna ini saat mencapai usia 20 tahun, sedangkan pada laki-laki saat berusia 30 tahun. Bila tidak mentaatinya diyakini masyarakat Kajang, yang bersangkutan akan terkena bala dan mudah terserang penyakit.
Orang Kajang hidup dengan bertani dan beternak. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan mereka sehari-hari, seperti kayu, rotan, madu dan lain-lain. Mereka adalah suku yang dikenal sangat dekat dengan hal-hal mistis. Banyak peraturan-peraturan hidup yang didasarkan pada kepercayaan-keparcayaan tersebut. Seperti larangan untuk beternak kambing dan unggas. Menurut mereka hal tersebut bisa mendatangkan petaka bagi suku mereka.
Walaupun orang Kajang tertutup pada perubahan, mereka terbuka untuk pendidikan. Ada kebijakan aturan yang memperbolehkan generasi mudanya untuk bersekolah. Walaupun mereka keluar dari desa adat, mereka dituntut untuk tetap melaksanakan hukum adat istiadat dan mematuhi aturan-aturan Kajang.

RUMAH
Rumah adat suku Kajang adalah rumah panggung dari kayu. Khusus untuk Amma Toa, rumah menggunakan bahan bambu. hal ini sebagai cerminan bahwa Amma Toa adalah orang yang hidup sederhana dan apa adanya sehingga dia tidak boleh lebih kaya dari masyarakatnya.
Rumah panggung ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu satu ruangan besar sebagai tempat berkumpul yang menjadi satu dengan dapur di bagian depan, satu ruang tidur untuk bapak dan ibu, satu ruang doa, dan satu ruang penyimpanan barang sehari-hari seperti baju dan perhiasan. [not check] bahan-bahan makanan disimpan di bangunan lain [lumbung] yang terletak di depan rumah sebelah kanan.

PASANG
Secara harafiah pasang memiliki arti pesan. Tetapi bagi masyarakat Kajang Pasang tidak hanya berhenti sebagai pesan, tetapi menjadi sebuah “wahyu” yang harus dilakukan. Pelanggaran terhadap Pasang akan langsung dikenai sanksi yang berlaku saat hidup di dunia maupun setelah meninggal. Pasang mengajarkan bahwa dunia yang diciptakan Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya. Ada pesan leluhur yang terus mereka pegang hingga saat ini, yaitu “Jangan kau tambah hutan tapi juga jangan kau kurangi”.

Merawat hutan merupakan bagian dari ajaran Pasang. Mereka percaya hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Hutan memiliki kekuatan supranatural yang tidak dapat dihadapi manusia. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya.
Dalam mengelola hutan mereka membagi dalam zona-zona tertentu. Seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan masuk sembarangan dalam kawasan itu tidak diperbolehkan sama sekali. Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, sebagai lokasi pengembalaan ternak.

memandikan ternak



seorang wanita suku Kajang sedang memandikan ternaknya. Tanah Toa, Sulawesi Selatan. Suku Kajang dikenal dengan keteguhannya untuk menjaga kelestarian hutan

http://www.kabarindonesia.com/foto.php?pil=20081031142845

AMMATOA

AMMATOA, PEMIMPIN SUKU KAJANG

6 05 2008

Dongeng yang berkembang di tengah komunitas suku Kajang; dulu langit dan bumi menyatu berbentuk tetampah (pattapi). Ketika manusia pertama (mula tauna) muncul di tempat ini, langit dan bumi terpisah. Peristiwa itulah yang mengilhami penamaan “kajang” yang berarti “memisahkan”. Beberapa artefak dan andesit di tempat ini menunjukkan, kawasan ini pernah menjadi sentral upacara adat suku Kajang.

Suku Kajang bermukim di areal pemukiman di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba – sekitar 250 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok; suku Kajang Luar dan suku Kajang Dalam.

Suku Kajang Dalam mendiami tujuh dusun di dalam lingkungan Desa Tana Toa. Pusat kegiatan komunitas adatnya berada di Dusun Benteng. Rumah Ammatoa (pemimpin adat suku Kajang) juga berada di tempat ini; sebuah rumah panggung yang seluruh bagiannya dibuat dari bahan kayu. Bangunan sederhana yang menjadi simbol prinsif kesederhanaan.

Sejak dipilih sebagai pemimpin adat, Ammatoa memang harus memperlihatkan simbol-simbol kesederhanaan itu. Ia harus tinggalkan pernik-pernik kehidupan mewah dan modern, dan memberi teladan kepada warganya; bagaimana seharusnya pemimpin bersikap dan berprilaku di setiap bidang kehidupan. Setiap hari, ia harus memakai pakaian adat suku Kajang; baju, kain, dan ikat kepala, berwarna hitam. Dulu, seluruh warga suku Kajang berpakaian seperti itu. Ada makna filosofis di balik pilihan warna ini – simbol kesederhanaan, sisi gelap, dan peringatan akan kematian.

Di saat sekarang, hanya Ammatoa dan para pemuka adat yang tetap berpakaian hitam dan menjauhi kehidupan modern. Sementara warga suku Kajang lain hanya mengenakan pakaian adat di upacara adat atau menghadap Ammatoa.

Warga suku Kajang percaya, Ammatoa merupakan orang yang dipilih oleh Turie A’ra’na (Yang Mahakuasa) sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sesuai Pandangan Patuntung. Sehingga, mereka pun benar-benar menjaga kesucian tokoh adat itu. Dan, tidak seorang pun diperkenankan merekam wajahnya. Pantangan terbesar di lingkungan Tana Toa.

Suku Kajang disebut-sebut beragama Patuntung atau tuntunan. Belakangan, mereka juga memeluk agama Islam. Namun pada prakteknya, cara hidup dengan Pandangan Panuntung yang mengkiblatkan diri pada Passang Ri Kajang (pesan-pesan suku Kajang), yang dijadikan pijakan. Yakni, prinsif hidup prihatin dan apa adanya atau kesederhanaan (kemase-masae). [http://etnofilm.wordpress.com/2008/05/06/ammatoa-suku-kajang/]

Suku Kajang Ammatoa di Bulukumba

Kajang, tidak sekedar nama wilayah di kabupaten Bulukumba. Kajang identik dengan kepercayaan. Bukan hanya soal fisik yang ditampilkan keseharian dengan pakaian seragam ‘hitam-hitam’ tapi juga keyakinan mereka yang teguh dan tak tergoyahkan yang dianut selama ini.

Di antara suku bangsa ynag ada, di Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Kajang, terdapat satu kelompok masyarakat yang kokoh memegang tradisinya. Mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek moyangnya dan cenderung kurang menerima, bahkan sebagian ditolak sama sekali hal-hal baru (modernisasi).

Komunitas Ammatoa mudah dikenal karena menampakkan ciri-ciri yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya. Spesifikasinya bukan hanya terdapat pada atribut yang dikenakan seperti; baju celana yang hampir menyentuh lutut, sarung, daster, ikat kepala yang dikenakan bagi kaum lelaki, yang semuanya berwarna hitam.

Mengenal Kebudayaan Ammatoa

Masyarakat Ammatoa pada umumnya berprinsip kamase-masea. Maksudnya suatu konsepsi dengan muatan: lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sa’bara (sabar), dan apisona (pasrah sepasrah-pasrahnya). Prinsip ini diselimuti oleh ikatan-ikatan emosi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan karena mengandung nilai-nilai keramat yang disertai imbalan dan sanksi yang juga keramat.

Kegiatan yang tampak dalam kehidupan mereka adalah kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan hidup yang bukan duniawi. Melainkan tujuan alam ghaib (berkumpul bersama “Tuhan” dan Tu Salama’ di tempat yang telah dijanjikan).

Sejarah Berdirinya Kebudayaan Ammatoa

Menurut suku Amma, Ammatoa ada sejak manusia dilahirkan ke bumi. Menurut mereka Amma ada bersamaan dengan manusia sebelum-sebelum kita (manusia purba). Jadi, Ammatoa sudah ada sejak jaman purba.

Perkembangan Kebudayaan Ammatoa

Struktur kehidupan masyarakat Ammatoa amat dibatasi oleh prinsip kamase-masea. Kamase-masea adalah suatu pola sikap dan pola berpikir komunitas Ammatoa yang menyangkut semua hal di dalam kehidupannya. Pola itu diilhami oleh nilai-nilai yang dikandung dalam pasang.

Sistem Kepercayaan dan Agama Masyarakat Ammatoa

Kepercayaan atau religi adalah kegiatan keagamaan manusia dalam hubungannya dengan budaya. Artinya, perilaku keagamaan dilihat sebagai bagian dari kebudayaan dan terpisah dari pengertian agama menurut definisi agama-agama seperti Islam, Kristen, dan agama lainnya.

Religi sebagai gejala manusiawi sudah diterangkan dalam berbagai macam teori. Pengkategorian teori asal mula religi terdiri atas:

¨ Teori yang bercorak psikologis

¨ Teori yang bercorak sosiologis

¨ Teori yang bercorak gabungan psikologis dan sosiologis

Adapun sistem kepercayaan masyarakat Ammatoa adalah menekankan usaha mengekang hawa nafsu untuk tidak melaksanakan perbuatan yang tidak sesuai dengan moral yang dapa merugikan orang lain. Juga tidak merusak alam, menaati aturan-aturan pemimpin, jujur, tegas, sabar, rendah diri, dan tidak cinta materi. Serta pasrah sepasrah-pasrahnya untuk mencapai tujuan keselamatan di alam ghaib.

Ketaatan mereka dalam menjalankan prinsip kamase-masea disebabkan oleh:

¨ Adanya imbalan kalumannyang kalupepeang (kekayaan tiada taranya)

¨ Adanya sanksi bagi yang tidak menjalankannya. Sanksi yang dijatuhkan berupa sanksi biasa (pengusiran dari wilayah Tana Kamase-mase atau pengucilan dari semua kegiatan masyarakat) dan yang lebih berat lagi adalah sanksi sakral (penolakan Tuhan terhadap arwahnya apabila mati).

Masyarakat ammatoa pada umumnya menganut agama Islam. Akan tetapi, mereka belum sepenuhnya menjalankan rukun islam. Seperti shalat lima waktu, berpuasa, dan berhaji. Tetapi masyarakat Ammatoa tidak mau dikatakan sebagai non-islam.

Perkembangan Sarana dan Prasarana di Ammatoa

Masyarakat Ammatoa sejak dahulu menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Mereka tidak mau naik mobil atau sepeda motor dan lebih memilih untuk berjalan kaki sekalipun harus menempuh jarak yang cukup jauh.

Perkembangan IPTEK di Ammatoa

Mengenai pendidikan, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan pendidikan bagi mereka dan anak-anaknya. Buktinya, ada beberapa warga Ammatoa yang menjadi tokoh pendidikan di kalangan manusia yang telah mengalami banyak pergeseran (modernisasi). Akan tetapi, perkembangan IPTEK tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena mereka sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka.

Hal ini dapat dibenarkan, karena setelah melakukan pengamatan langsung, memang masyarakat di sana seperti tidak mengenal perubahan teknologi di luar Ammatoa. Kami tidak pernah melihat adanya TV, radio, ataupun sepeda. Kehidupan mereka sangat alami.

Keadaan ketika Masyarakat Ammatoa Berduka

Agama warga Ammatoa 100% Islam. Ketika Amma berduka taksiyah dilakukan selama 100 hari, dan bagi keluarga yang ditinggalkan tidak boleh memakai baju. Hanya menggunakan sarung berwarna hitam selama 100 hari.

from:
http://rikania09.multiply.com/journal/item/47/Suku_Kajang_Ammatoa_di_Bulukumb
a

JEJAK ARKEOLOGIS SUKU KAJANG

“Jejak Arkeologis Suku Kajang” menceritakan perjalanan dua arkeolog muda Unhas – Yadi Mulyadi dan Asfriyanto – yang mengurai jejak arkeologis di Tana Toa, Bulukumba. Tana Toa merupakan tempat bermukim Suku Kajang, yang memiliki keunikan cara hidup, kesenian, dan bahasa. Kesederhanaan dan kearifan lokal tercermin dari kawasan ini. Dan, fakta arkelogis membuktikan, Tana Toa menyimpan catatan sejarah peradaban yang panjang dan bias dikatakan sebagai nenek-moyang raja-raja di Sulawesi Selatan.


TIM PRODUKSI:
"JEJAK ARKEOLOGIS SUKU KAJANG";
Syaiful Halim (Sutradara/Penulis Naskah); Teguh Prihantoro (Pengarah Fotografi/Kamerawan); Ardie (Penata Suara); Agus Salim Harahap (Penyunting Gambar); Billy Soemawisastra (Narator); M. Nur Ridwan & Budi Utomo (Penata Grafis); Ari Widagdo (Penata Musik); Suparyono (Periset); Yadi Mulyadi & Asfriyanto (Periset/Talent); Tamrin Soppeng (Pendukung Produksi). Diproduksi di Bulukumba, Sulsel, pada 4-13 Februari 2006. Ditayangkan di Program POTRET SCTV pada 18 Februari 2006.


NARASI ORISINAL:
SEBUAH DONGENG DI TANAH KAJANG MENCERITAKANKAN/ DULU LANGIT DAN BUMI MENYATU BERBENTUK SEBUAH PATTAPI/ ATAU TETAMPAH// KETIKA MULA TAUNNA/ ATAU MANUSIA PERTAMA/ MUNCUL/ LANGIT DAN BUMI TERPISAH// PERISTIWA ITU MENGILHAMI PENAMAAN KAJANG/ YANG BERARTI MEMISAHKAN//WARGA SUKU KAJANG PERCAYA/ MULA TAUNNA MUNCUL DI SITUS POSSI TANA/ DI DESA MATOANGIN/ SEKITAR 10 KILOMETER DARI KAWASAN ADAT TANA TOA// BEBERAPA BUKTI ARTEFAK DAN ANDESIT MENUNJUKKAN/ KAWASAN INI PERNAH MENJADI SENTRAL BERBAGAI UPACARA ADAT//

SUKU KAJANG BERADA DI KECAMATAN KAJANG/ KABUPATEN KULUKUMBA/ SEKITAR 250 KILOMETER DARI KOTA MAKASSAR/ SULAWESI SELATAN// MENURUT TEMPAT MUKIMNYA/ SUKU KAJANG TERBAGI DALAM DUA KELOMPOK/ SUKU KAJANG LUAR DAN SUKU KAJANG DALAM// SUKU KAJANG DALAM MENDIAMI TUJUH DUSUN DI DESA TANA TOA// PUSAT KEGIATAN KOMUNITAS SUKU KAJANG BERADA DI DUSUN BENTENG/ YANG DITANDAI DENGAN KEHADIRAN RUMAH AMMATOA/ ATAU PEMIMPIN ADAT SUKU KAJANG// WARGA SUKU KAJANG PERCAYA/ AMMATOA MERUPAKAN ORANG YANG DIPILIH TURIE A’RA’NA/ ATAU YANG MAHA KUASA/ SEBAGAI PEMBIMBING DAN PENGARAH KEHIDUPAN SESUAI PANDANGAN PANUNTUNG// SEHINGGA/ MEREKA PUN BENAR-BENAR MENJAGA KESUCIAN TOKOH ITU/ DAN TIDAK SEORANG PUN DIPERKENANKAN MEMILIKI REKAMAN WAJAHNYA//

DULU/ SUKU KAJANG DISEBUT-SEBUT BERAGAMA PANUNTUNG/ ATAU TUNTUTAN// BELAKANGAN INI/ MEREKA JUGA MENGAKU MEMELUK AGAMA ISLAM// PADA PRAKTEKNYA/ CARA HIDUP PANUNTUNG/ YANG MENGKIBLATKAN DIRI PADA PASSANG RI KAJANG/ ATAU PESAN-PESAN SUKU KAJANG/ YANG MENGHARUSKAN HIDUP PRIHATIN DAN APA ADANYA/ ATAU KEMASE-MASAE/ MENJADI PAYUNG KEHIDUPANNYA//

SUKU KAJANG IDENTIK DENGAN PAKAIAN HITAM/ SEBAGAI SIMBOL KESEDERHANAAN DAN PERINGATAN AKAN ADANYA KEMATIAN/ ATAU SISI GELAP// BELAKANGAN INI/ HANYA AMMATOA DAN PARA PEMUKA ADAT/ YANG TETAP BERPAKAIAN HITAM DAN MENJAUHI PENGARUH HIDUP MODERN// SEMENTARA WARGA SUKU KAJANG LAIN/ HANYA MENGENAKAN PAKAIAN HITAM DI UPACARA ADAT ATAU MENGHADAP AMMATOA// KEPATUHAN AKAN AJARAN KEMASE-MASAE ITU BUKAN HANYA DITUNJUKKAN DENGAN PAKAIAN/ TAPI JUGA KEHIDUPAN MALAM YANG MENGHINDARKAN LAMPU-LAMPU BERCAHAYA TERANG//

DI LUAR KEKAYAAN ADAT YANG SENGAJA TERUS DIPELIHARA/ SUKU KAJANG PUN TERNYATA DIKENAL MEMILIKI CATATAN PRASEJARAH YANG MENAKJUBKAN// BERBAGAI PENELITIAN ARKELOGIS DARI BERBAGAI PERGURUAN TINGGI KE LINGKUNGAN KAWASAN INI/ MEMBERIKAN SUATU BUKTI/ ADANYA PERADABAN KUNO//

PERJALANAN DARI GERBANG KAWASAN ADAT TANA TOA KE DUSUN BENTENG HANYA BISA DILAKUKAN DENGAN BERJALAN KAKI// MESKI KENDARAAN TIDAK DIPERBOLEH MEMASUKI KAWASAN ADAT/ TERNYATA JALAN-JALAN DI KAWASAN INI TELAH TERTATA APIK// DI SEPANJANG JALAN TERDAPAT RUMAH-RUMAH ADAT/ ATAU BOLAH/ YANG KESEMUANYA MENGHADAP KE BARAT// ARSITEKTUR RUMAH DI KAWASAN INI SEMUANYA SAMA/ YAKNI TERDIRI ATAS PARA ATAU BAGIAN ATAS/ KALE BOLA ATAU BAGIAN TENGAH/ DAN SIRING ATAU BAGIAN BAWAH//

WARGA SUKU KAJANG MENGGANTUNGKAN KEBUTUHAN AIRNYA PADA MATA AIR ATAU SUMUR// SATU MATA AIR DIPERUNTUKKAN BAGI SELURUH WARGA DUSUN// MISAL/ SUMUR TUNIKEKE INI MENJADI TEMPAT MENCUCI/ MANDI/ DAN MINUM BAGI RATUSAN WARGA DUSUN BENTENG//

YADI MULYADI DAN ASPRIYANTO ADALAH ARKELOG MUDA DARI UNIVERSITAS HASANUDDIN/ MAKASSAR/ YANG KERAP MELAKUKAN PENELITIAN DI TEMPAT INI// KALI INI/ DITEMANI OLEH SEORANG PEMUDA SUKU KAJANG BERNAMA ABBAS/ MEREKA MENCOBA MEREKA-ULANG KEMBALI HASIL PENELITIANNYA// SEBELUM MENYUSURI SITUS-SITUS DI DALAM LINGKUNGAN DUSUN BENTENG/ KEDUA ARKEOLOG MUDA INI MENDATANGI RUMAH AMMATOA// KUNJUNGAN INI DIMAKSUDKAN/ UNTUK MEMINTA IZIN DAN RESTU ATAS KEGIATAN PENELITIAN//

BAGI SUKU KAJANG/ AMMATOA MEMILIKI PERAN SENTRAL UNTUK SEMUA KEHIDUPAN// IA MERUPAKAN PEMIMPIN AGAMA/ PEMIMPIN ADAT/ HAKIM/ DAN DOKTER/ BAGI WARGA YANG MEMILIKI MASALAH// KARENA ITU/ AMMATOA TIDAK MEMILIKI KEGIATAN LAIN/ SELAIN MENEMANI DAN MEMBANTU MEMUTUSKAN BERBAGAI PERSOALAN DI KOMUNITASNYA// DARI RUMAH AMMATOA/ PENELITIAN DILAKUKAN DI SEBUAH PEMAKAMAN WARGA SUKU KAJANG//

MAKAM MERUPAKAN BUKTI KUNO/ YANG LEBIH TERJAGA KEASLIANNYA DIBANDINGKAN RUMAH ATAU SIMBOL-SIMBOL ADAT LAINNYA// KARENA ITU/ UNTUK MENDAPATKAN BUKTI PERADABAN DI MASA LAMPAU/ PARA ARKEOLOG MENGAWALINYA DARI LOKASI SEMACAM INI// DI LOKASI PEMAKAMAN LAIN/ TERDAPAT SEBUAH MAKAM MILIK SEORANG KSATRIA// MESKI MAKAM INI TIDAK TERURUS/ NAMUN PARA ARKEOLOG INI MENEMUKAN IDENTITASNYA//

PENYELUSURAN JEJAK-JEJAK ARKELOGIS DI KAWASAN ADAT TANA TOA/ SEAKAN MEMASUKI KEHIDUPAN MASA LAMPAU DAN MASA SEKARANG/ YANG MASIH TERJAGA KETRADISIONALANNYA// SITUS-SITUS YANG HANYA DIJAGA OLEH WARGA SETEMPAT/ MEMBERI GAMBARAN SUKU KAJANG TEMPO DULU// NAMUN/ BERBAGAI KEGIATAN WARGANYA/ MEMBERI GAMBARAN KEHIDUPAN SEBALIKNYA//

DI SIANG HARI/ KAUM LAKI-LAKI DI KAWASAN INI PERGI KE SAWAH ATAU LADANG// SEMENTARA/ KAUM PEREMPUANNYA MENENUN KAIN DI BAGIAN SIRING RUMAHNYA// HASIL TENUN WARGA SUKU KAJANG BUKAN HANYA MEMENUHI KEBUTUHAN WARGA SETEMPAT/ TAPI JUGA DIJUAL KE PARA PENDATANG// SEDANGKAN SUMBER UTAMA WARGA SUKU KAJANG ADALAH LAHAN PERTANIAN DAN KEBUN//

KETIKA MUSIM TANAM TIBA/ MEREKA BERBONDONG-BONDONG KE SAWAH/ YANG JARAKNYA BEBERAPA KILOMETER DARI RUMAHNYA// MEREKA MANFAATKAN KUDA SEBAGAI KENDARAAN KE SAWAH ATAU LADANG/ DAN KERBAU SEBAGAI HEWAN PEMBAJAK// WARGA KAJANG YANG TIDAK MEMILIKI SAWAH ATAU LADANG/ BIASANYA BEKERJA PADA PEMILIK SAWAH//

JEJAK-JEJAK ARKELOGIS SUKU KAJANG BUKAN HANYA BERADA DI LINGKUNGAN DESA TANA TOA// DI DUSUN LEMBANG LOHE/ SEKITAR 20 KILOMETER DARI DESA TANA TOA/ TERDAPAT MAKAM TONTENG DAENG MATTARANG/ SEORANG BANGSAWAN SUKU KAJANG DI ZAMANNYA// DENGAN KEKAYAAN ARKELOGIS DI TANAH KAJANG MEMBUAT WARGA SUKU KAJANG PERCAYA/ BAHWA MEREKA BUKAN HANYA MEMILIKI SEJARAH PERADABAN YANG PANJANG// NAMUN/ SUKU KAJANG MERUPAKAN LELUHUR RAJA-RAJA DI SULAWESI SELATAN//

LEBIH DARI TEMUAN ARKELOGIS/ KINI SUKU KAJANG BENAR-BENAR TELAH MEMASUKI KEHIDUPAN MODERN// KEGIATAN EKONOMI YANG DILAKUKAN DI PASAR TRADISIONAL MENUNJUKKAN MEREKA BUKANLAH SUKU YANG TERISOLIR ATAU TERPENCILKAN// WARGA SUKU KAJANG DALAM MELAKUKAN KEGIATAN PERDAGANGAN SEPERTI WARGA SUKU KAJANG LUAR// DAN/ DI TEMPAT INI/ SEMUA BARANG-BARANG DARI KOTA/ SEMACAM KEPING VCD/ JUGA DENGAN MUDAH DIDAPAT//

KELEBIHAN SUKU KAJANG DALAM/ MEREKA MENCOBA MEMPERTAHANKAN IDENTITAS DENGAN PAKAIAN HITAMNYA DI ANTARA WARGA SUKU KAJANG LUAR// BAHKAN/ WARGA SUKU KAJANG DALAM YANG TENGAH BERDUKA/ TETAP TAMPIL DENGAN KAIN MENUTUPI TUBUHNYA DARI KEPALA HINGGA BADAN/ SEAKAN BERADA DI DALAM KOMUNITASNYA//

SATU-SATUNYA SISI BURAM ATAS PENGABAIAN PRINSIF KEMASE-MASEA ATAU PRIHATIN DAN APA ADANYA/ ADALAH MENINGKATNYA POLA PIKIR KOMERSIAL// DI DUSUN BENTENG/ KINI BISA MENDAPATKAN HIBURAN BERUPA TEATER RAKYAT PABITTE PASSAPU/ ASAL MENGELUARKAN SEJUMLAH UANG// DULU/ KESENIAN INI MERUPAKAN BAGIAN DARI KEGIATAN SPIRITUAL/ YANG DI DALAMNYA MASIH MENGANDUNG UNSUR GAIB//

BERBAGAI RITUAL ADAT/ SEMACAM UPACARA KALOMBA/ JUGA MEMPERLIHATKAN SISI KETERBALIKAN ATAS PRINSIF KEMASE-MASEA// UPACARA PELEPASAN MASA ASUH DARI DUKUN PERSALINAN KE KELUARGA HATTO DI DUSUN SOBBU INI/ MENGHABISKAN DANA HINGGA 50 JUTA RUPIAH// SEHINGGA/ KELUARGA HATTO HARUS MEMPERSIAPKANNYA BERBULAN-BULAN// DI AKHIR ACARA/ KERABAT KELUARGA HATTO MEMBERIKA KADO KEPADA ANAK YANG DIKALEMBO/ DENGAN SEJUMLAH UANG BERNILAI JUTA-JUTAAN// INILAH PERADABAN SUKU KAJANG MASA KINI//

http://syaifulhalim.blogspot.com/2007/06/jejak-arkeologis-suku-kajang.html