Selasa, 20 Januari 2009

Belajar pada Manusia Kajang

Belajar pada Manusia Kajang
(04 Jan 2009, 34 x , Komentar)

Judul: Kearifan Manusia Kajang, Penulis: Mas Alim Katu, Penerbit: Pustaka Refleksi, Terbit: Cetakan Kedua, 2008, Tebal: x + 96 halaman. Manusia Kajang lebih dikenal karena gaya hidupnya yang selalu menggunakan pakaian yang serba hitam.Mereka mendiami kawasan yang cenderung terisolasi. Karena itu acapkali disinyalir sebagai kelompok yang marginal. Dipandang tidak dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan, serta predikat lainnya yang berkonotasi “kuno” yang tidak perlu dilirik. Benarkah demikian?

Apakah tidak ada ruang-ruang dari kehidupan mereka yang dapat dijadikan anutan bagi kehidupan masyarakat manusia, terutama yang hidup di kota yang penuh dengan euforia hedonisme dan individualisme, kadang menjauhkan mereka dari hakekat dasarnya sebagai makhluk sosial.

Melalui buku ini, Mas Alim Katu, hendak menggugah pemikiran kita semua. Untuk mengurai unsur-unsur kearifan ini, ulasan buku ini secara sistematis terbagi dalam tiga bagian. Pada bagian pertama dikemukakan mengenai Pasang Ri Kajang sebagai salah satu jejak purba.

Uraiannya mencakup dimensi makna, asal usul, sistem kepercayaan, sistem ritus, sistem sosial, dan beberapa kisah lisan bijak.

Bagian dua buku ini mengungkapkan ihwal Pasang Ri Kajang dari pendekatan Folklor. Pendekatan ini memudahkan kita dalam memahami sejumlah nilai-nilai kearifan yang diasosiasikan dengan berbagai hal simbolik yang dituturkan dan diwariskan secara lisan.

Pada bagian akhir (tiga) buku, penulis menegaskan kembali berbagai perspektif dalam bentuk simpulan mengenai dunia manusia kajang serta ruang-ruang studi yang berkaitan dengan itu.
Berbagai kearifan yang bersemai di tengah kehidupan komunitas berbaju hitam dikemukakan di sini.

Sumber kearifan itu berasal dari “Pasang Ri Kajang”. Pasang dalam hal ini dipahami sebagai: nasehat atau wasiat, tuntunan atau amanah, renungan atau ramalan, dan peringatan (h.2). Nilai-nilai tersebut senantiasa dijunjung tinggi dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

Transformasinya dilakukan secara lisan dari satu generesi ke generasi berikutnya. Singkatnya, nilai-nilai itu telah menjadi milik diri dan komunitas ini.

Sumber segala unsur dalam kehidupan ini, menurut ajaran Pasang, berasal dari “Tu Riek Akrakna” yakni Tuhan Yang Maha Mutlak dan Maha Berkehendak. Oleh karena itu, manusia harus melaksanakan semua perintah-Nya dan menghindari semua larangan-Nya.

Nilai semacam ini berkorelasi dengan unsur-unsur Ketuhanan dalam beragama. Masih dalam ranah keyakinan beragama, manusia kajang juga percaya bahwa sesungguhnya kitab suci Alquran itu terdiri atas 40 juz. Sepuluh dari 40 juz itu adanya di Kajang, dan yang lainnya diturunkan di Tanah Arab. Karena itu, Pasang sering juga dipandang sebagai hakekat Islam (h.10).

Dalam kehidupan sosial, sebagaimana dalam Pasang, terdapat empat nilai yang harus diaktualisasikan. Pertama, kejujuran yang dituangkan dalam kalimat “lambusk-nuji nukaraeng” (karena kejujuranmu maka engkau menjadi penguasa).

Kedua, kesabaran yang diungkapkan dengan “sabbarak-nuji nu guru” (lantaran kesabaranmu maka engkau menjadi guru). Ketiga, konsekwen yang dilukiskan dengan “ri gattanuji nu adak” (lantaran ketegasanmu maka engkau menjadi pemimpin adat). Keempat, nilai tanggung jawab terukir pada “pesona nuji nisanro” (lantaran engkau tenggang rasa maka engkau menjadi dukun).

Selain perilaku yang dianjurkan, Pasang juga menggariskan tutur kata dan perilaku yang harus dihindari atau tidak dilakukan. Dalam hal asmara, adalah dianggap “sirik” bila seorang gadis berdua-duaan dengan seorang jejaka yang bukan familinya (h.44).

Adalah “sirik” ketika seorang perempuan yang bertatapan dengan seorang pria, lantas ia meludah. Terdapat juga sejumlah pantangan, misalnya tidak menggunakan dan membawa perhiasan emas ke dalam wilayah Tanah Kamase-mase.

Manusia Kajang juga memiliki pandangan dan cara yang sangat arif dalam melestarikan lingkungan hutan dan alam sekitarnya. Pendek kata, dengan membaca buku ini Anda akan menemukan sejumlah kearifan yang mungkin saja sudah jarang dijumpai dalam rona kehidupan, namun hal itu masih terpelihara dan diimplementasikan oleh Manusia Kajang.

Akhir kata, kelompok sosial yang kadang disinyalir sebagai yang “terbelakang” ini ternyata lebih manusiawi dibandingkan manusia modern yang masih menanggap dirinya lebih unggul dan maju, tetapi sesungguhnya telah jauh dari sifat-sifat kemanusian, seperti tampak pada kehidupan Manusia Kajang. Saatnya kita [harus] belajar pada Manusia Kajang!.

Abd. Rahman Hamid
Staf Pengajar Sejarah FIS UNM dan FIB UNHAS
(abdul-pasca@yahoo.com)

Tidak ada komentar: