Rabu, 27 Mei 2009

DUA TAHUN TRAGEDI PATANI

Berikut ini adalah oleh-oleh esai dari Sapto Waluyo saat berkunjung ke Penang, Malaysia (15-16 April) untuk menghadiri seminar tentang nasib muslim Patani, tepatnya di Universitas Sains Malaysia. Delegasi Indonesia lumayan lengkap, ada mahasiswa (KAMMI), Majelis Mujahidin (Irfan Awwas dan Ust. Muhammad Thalib), peneliti (Imam Nur Azis dari CIR, yang juga pegiat Komunitas Wedangjae) dan Lukman Age dari Institute Aceh), dan wartawan SAKSI (Suhud), juga TARBAWI (Zairofi).

Tanpa publikasi gencar, pemerintahan sementara Thailand di bawah kepemimpinan Pj. PM Chidchai Vanasathidya telah memperpanjang Peraturan Darurat (Emergency Decree) yang diberlakukan bagi tiga Provinsi di wilayah selatan (18/4). Peraturan Darurat itu dikeluarkan pertama kali oleh mantan PM Thaksin Shinawatra pada Juli 2005 setelah rangkaian insiden yang menewaskan sedikitnya 1200 warga Muslimin di Narathiwat, Patani, dan Yala.


Peraturan Darurat itu menggantikan UU Darurat Militer
(Martial Law) dan harus diperbaharui setiap 90 hari
dengan persetujuan sidang Kabinet. Jadi, bukan produk
hukum yang dikeluarkan atau disetujui Parlemen,
apalagi berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat.
Substansi Peraturan Darurat sepenuhnya melanggar
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan PBB tentang Hak Sipil
dan Politik, serta Kovenan Anti Penyiksaan dan
Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia. Sejak lama pemerintah Thailand yang
mengaku berideologi Budhisme itu melakukan
diskriminasi rasial terhadap warga Muslim Patani yang
menghuni wilayah selatan ratusan tahun lampau.

Dengan Peraturan Darurat itu, maka pemerintah Thailand
dapat melakukan penahanan selama 30 hari tanpa dakwaan
kepada siapapun yang dicurigai, memeriksa dan
menangkap warga tanpa jaminan keselamatan dan
pembelaan, serta melakukan penyadapan telepon kepada
sembarang rumah penduduk di wilayah selatan. Peraturan
itu juga memberi kekebalan kepada pihak keamanan
(tentara dan polisi) dari segala gugatan, sehingga
dikritik oleh pemerhati hukum dan HAM akan menimbulkan
suasana impunitas (tindakan tanpa pertanggung-jawaban
hukum).

Ironis, tak ada respon yang memadai dari masyarakat
internasional. Seakan-akan dunia menutup mata dan
bungkam terhadap pelanggaran berat HAM (gross human
rights abuse) yang dilakukan pemerintah Thailand sejak
dua tahun lalu. Tragedi mutakhir itu bermula dari
razia militer di Provinsi Narathiwat pada 4 Januari
2004 yang diikuti dengan pemberlakuan UU Darurat
Militer.

Dua bulan kemudian (12/4/2004) seorang pengacara
muslim terkenal, Somchai Neelapaichit diculik dan
tidak ketahuan nasibnya hingga kini. Nasib Somchai
mirip dengan aktivis HAM Munir di Indonesia yang
diracun secara misterius. Tak ada upaya sedikitpun
dari pemerintah Thailand untuk mengungkap penculikan
dan penghilangan paksa itu, sebagaimana dialami
puluhan -- bahkan ratusan -- warga Thailand Selatan
lainnya.

Beberapa pekan kemudian (28/4/2004) terjadi penyerbuan
di Masjid Krue See yang menewaskan sedikitnya 108
pemuda Muslim. Sebelum tewas dibantai, kaum muda itu
disuruh membuka baju dan berjalan merangkak di atas
jalan. Nama “Kreu See” adalah pelafalan lokal atas
kota Gerisik. Itu menandakan dakwah Islam di masa
Sunan Gresik pernah sampai ke negeri Gajah Putih.
Karena itu, masyarakat dan pemerintah Indonesia
semestinya memiliki kepedulian dan tanggung-jawab
moral untuk mendukung penyelesaian konflik di Thailand
Selatan secara damai.

Tragedi berdarah di Masjid Krue See seolah belum
cukup, masih diikuti dengan pembantaian di Tak Bai
yang menewaskan sekurang-kurangnya 79 warga Muslim,
sedangkan 1000 demonstran akhirnya ditahan
(25/10/2004). Semua catatan hitam itu tertutup dari
sorotan dunia luar, karena pemerintah Thailand di masa
kepemimpinan Thaksin memberlakukan UU Militer yang
kemudian diganti dengan Peraturan Darurat. Thaksin
juga terkenal pandai berkampanye dan berdiplomasi,
antara lain, dengan menyebarkan ribuan burung kertas
dari atas pesawat udara sebagai tanda perdamaian.
Padahal, kenyataan di lapangan Thaksin membiarkan
aparat keamanan bertindak kejam.

Sampai saat ini sudah 500 warga yang ditahan secara
paksa, tanpa bukti kesalahan yang nyata. Ada sekitar
3000 warga lain yang diincar pihak keamanan dengan
alasan terlibat gerakan separatis militan bersenjata.
Setiap hari adalah ketegangan dan kedekatan pada
kematian bagi warga di wilayah selatan. Menurut sumber
kepolisian Thailand di wilayah perbatasan selatan
sendiri, dalam setahun terakhir sudah 200 warga yang
tewas (New Straits Times, 19/4). Itu belum termasuk
kasus pembunuhan dan penghilangan orang yang tidak
terdata.

Anggota Dewan Rekonsiliasi Nasional, Arifin
Thaipratan, mengungkapkan sepanjang tahun 2005 lalu
tercatat 1.765 korban tewas. Dari jumlah itu terungkap
607 korban Muslim dan 538 warga Budhis, serta 30 mayat
tak dikenal. Sedang korban terluka mencapai dua ribuan
orang. Kekerasan yang dilakukan aparat, dengan alasan
merazia kelompok separatis terbukti menimbulkan korban
sipil dari kedua belah pihak. Tapi, Thaksin tidak
peduli karena isu selatan menjadi salah satu komoditas
politik yang laris di masa pemilu.

Namun, meski Thaksin telah memenangkan pemilu terakhir
beberapa waktu lalu, rakyat Thailand tetap menolak
legitimasi kepemimpinannya, sehingga Thaksin harus
mengundurkan diri. Sayangnya, pemerintahan sementara
Chidchai diduga masih berada di bawah bayang-bayang
kekuasaan Thaksin. Para pengamat meyakini Thaksin
sedang menjalankan “skenario Lee Kuan Yew” yang tetap
memainkan peran menentukan, walau sudah mundur secara
formal dari kancah politik. Kemiripan Thaksin dan Lee
jadi lebih besar, karena keduanya menguasai sektor
ekonomi terpenting di negara masing-masing.

Dalam seminar di Universitas Sains Malaysia, Penang
(15 - 16 April lalu), dikeluarkan rekomendasi agar
pemerintah Thailand, khususnya pihak pihak kepolisian
dan tentaranya, segera menghentikan kekerasan di
wilayah selatan. Selain itu peserta yang terdiri dari
delegasi Malaysia, Indonesia, Thailand dan Filipina
menuntut pemerintahan Pj. PM Chidchai Vanasathidya
agar mencabut Peraturan Darurat yang jelas-jelas
melanggar prinsip-prinsip HAM dan kovenan
internasional.

Masyarakat Muslim sendiri sudah lama menuntut
pemerintah Thailand agar memberikan kesempatan
pembentukan zona administratif khusus (mothon) kepada
wilayah selatan (Narathiwat, Patani, Yala dan Setun).
Tuntutan itu bukan mengada-ada, sebab telah ditetapkan
sebagai amanat konstitusi Thailand. Jika masyarakat
internasional mendorong penyelesaian damai di Aceh
dalam bingkai otonomi khusus, mengapa hal serupa tak
bisa dilakukan di Thailand Selatan?

Akar sejarah Melayu di wilayah Thailand bisa dilacak
sampai abad ke-8, tarikh berdirinya Kerajaan
Langkasuka. Kerajaan itu bertahan sampai abad ke-13,
saat berubah menjadi Kerajaan Melayu Patani yang
beribukota di Kampong Gerisik. Fakta sejarah itu
menuntut penelitian yang lebih serius tentang hubungan
Kerajaan Patani dengan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara (Indonesia).

Dalam spirit kesejarahan yang genuin, maka pemerintah
Indonesia dan pemimpin negara-negara ASEAN sepatutnya
mendesak pemerintah Thailand agar menghentikan segala
bentuk pelanggaran HAM di kawasan selatan. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua MPR Hidayat Nur
Wahid juga pantas mendesak lembaga internasional
seperti Organisasi Konperensi Islam (OKI), agar
berperan aktif karena Thailand telah dinyatakan
sebagai salah satu negara peninjau dalam setiap
konperensi OKI. Bahkan, Komisi HAM PBB harus
mengirimkan tim pencari fakta demi mengusut
pelanggaran HAM di wilayah selatan.

Jika segala upaya diplomatik dan langkah hukum itu
tidak mempan, maka seluruh elemen civil society di
Indonesia dan negara-negara ASEAN seharusnya mendukung
kebebasan dan keadilan bagi warga di Thailand Selatan
dengan cara melakukan protes damai ke Kedubes
Thailand. Kalau perlu, kita memboikot produk ekspor
dari Thailand, apabila pemerintah Thailand tidak
segera menghentikan kekerasan dan mencabut Peraturan
Darurat.

Di era globalisasi informasi, tak ada sebuah negara
yang bebas melakukan kekejaman tanpa kontrol dari
komunitas internasional. Sebagaimana tindakan aparat
Thailand pada 7 November 2005 yang membubarkan secara
paksa demonstrasi di Kantor Polisi Bannangstar, hingga
menewaskan 2 warga dan 15 lainnya ditahan. Padahal,
mereka hanya menuntu keadilan karena keluarganya
ditahan di kantor polisi tanpa alasan masuk akal.
 Belum kering darah warga Patani, sembilan hari kemudian (16/11/2005) dilakukan razia militer di desa Kathong. Hasilnya, 9 warga ditembak mati, 7 diantaranya berusia di bawah 20 tahun dan korban paling muda berusia hanya 8 bulan. Kematian seorang bayi mestinya menjadi pertanda tragedi ini harus segera diakhiri, tanpa ditunda-tunda lagi!
 Jakarta, 24 April 2006
(source : JMP@sindikasi berita dan pelatihan media)
* Klik di sini untuk lihat Resensi Buku "Kebangkitan Politik Dakwah" karya Sapto Waluyo
sumber:http://www.wedangjae.com/index.php?Itemid=5&id=218&option=com_content&task=view

Tidak ada komentar: