Rabu, 21 Januari 2009

Kearifan lingkungan

kEARIFAN lINGKUNGAN TANATOA

Kearifan lingkungan Sulawesi Selatan yang seringkali dirujuk adalah yang terdapat pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah baik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur (teks lisan) yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi: Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat pasal lain yang berbunyi: Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat).

Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian kawasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam pohon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama sekali tidak boleh dirambah (baca, Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya (organisasi yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.

Kearifan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat elemen kearifan lingkungan, yaitu sistem nilai (value system), pengetahuan (knowledge), teknologi (technology), dan lembaga adat (institution).

Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masyarakat lokal yang memiliki kearifan lingkungan, seperti lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara memotong pohon untuk tiang rumah, dan perlunya mengganti pohon yang ditebang dengan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber daya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq (membersihkan laut) yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain.

Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sistem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia merupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam penghijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an (Lucas dalam Robinson & Paeni, 2005). Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak masyarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usaha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tambahan pendapatan ekonomi keluarga dengan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak.

Contoh yang dikemukakan terakhir ini menegaskan kembali kepada kita tentang perlunya penguatan kearifan lingkungan. Sebuah upaya yang secara konseptual memerlukan adanya sinergi antara religi, pengetahuan, dan teknologi, dan secara praktikal membutuhkan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah serta antarsektoral, perguruan tinggi, LSM, tokoh-tokoh agama, dan pelaku di masyarakat. Tujuannya adalah membangun agenda rencana aksi yang bermuara pada pelaku pembangunan yang arif lingkungan. **

Pimpinannya Rela Menjadi yang Termiskin

Kehidupan Suku Kajang di Sulsel
Pimpinannya Rela Menjadi yang Termiskin

Bulukumba – Di tengah-tengah maraknya korupsi yang dilakukan oleh sejumlah oknum pejabat negara, baik dari eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, kesederhanaan pemimpin adat suku Ammatoa (Kajang Dalam) dapat mendapat acungan jempol. Ammatoa, begitu pula julukan bagi pemimpin adat tertinggi dalam suku Kajang tersebut, selalu memberikan contoh bagaimana menegakkan hukum, jika anggota masyarakatnya melakukan tindak pidana. Sebagai penguasa yang mempunyai otoritas penuh, dia tidak boleh memperkaya dirinya. Bahkan, menjadi Ammatoa berarti harus merelakan diri untuk menjadi orang yang paling miskin di antara anggota masyarakatnya.
Kediamannya yang terletak di salah satu wilayah di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel, menampakan bahwa kehidupannya paling sederhana di antara rumah penduduk yang mendiami tempat yang sama. Dinding rumahnya terbuat dari bambu, sedangkan masyarakatnya membangun rumahnya dengan menggunakan kayu.
Contoh hidup sederhana dan kedisiplinan dari menegakkan hukum membuat tidak ada tindak pidana korupsi yang tumbuh di tanah adat itu. Bagi setiap orang yang kedapatan mencuri hasil hutan keramat akan didenda sebesar 12 real atau sebesar Rp 1,2 juta. Memang mata uang Saudi Arabia yang lebih dikenal dari turun temurun di sana.
Uang hasil denda itu tidak lantas diambil oleh para pihak yang mempunyai jabatan di suku tersebut. Hasil denda itu langsung dibagi-bagikan kepada masyarakatnya. ”Karena pelaku pencurian itu telah mencuri milik rakyat, maka hasil dendanya juga harus dikembalikan kepada masyarakat,” ujar ketua adat Ammatoa ketika SH melakukan kunjungan ke daerah itu akhir tahun lalu.
Korupsi tidak tumbuh di tanah itu, karena masyarakat di sana tidak ada yang berlomba-lomba untuk menjadi kaya. Manusia yang dilahirkan harus hidup sederhana. Justru kekayaan, akan melanggar adat yang telah mereka pegang secara turun temurun. ”Kita tidak bisa berlebih-lebihan karena itu akan melanggar kehidupan adat yang sederhana,” papar Ammatoa.

Tradisional
Masyarakat adat Ammatoa (Kajang Dalam) di Tana Toa-Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu suku di mana masyarakatnya masih mempertahankan gaya hidup tradisional. Baik sistem sosial-budaya-politik-religinya masih asli.
Tidak ada kendaraan bermotor yang lalu lalang, penerangan listrik maupun media informasi televisi serta radio di kawasan tersebut. Namun, di tengah-tengah keunikan yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut, ada yang istimewa, yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan.
Masyarakat adat Ammatoa yang tinggal sekitar 50 kilometer dari pusat kota kabupaten, mengelola hutan secara lestari. Sehingga, hutan di wilayah tersebut tetap aman. Hal ini disebabkan hubungan masyarakat adat dengan sumberdaya hutan merupakan sesuatu yang amat penting dan penuh dengan kearifan, serta telah dibina sejak awal dari kehidupan masyarakatnya.
Masyarakat Ammatoa dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaanya terhadap ajaran ” pasang ” bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na (Tuhan) beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya. Faktor lain yang berpengaruh dalam menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka bahwa asal mula leluhurnya ”turun” di hutan Tombolo.
Pemahaman masyarakat Ammatoa terhadap sumberdaya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase-masea (kesederhanaan) dan ajaran pasang sebagai suatu nilai yang dipegang erat. Masyrakat Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan, sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Untuk itu mereka senantiasa memelihara hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka.

Dilarang Mengeksploitasi
Masyarakat Ammatoa dalam menjaga hubungannya dengan sumber daya alam terletak pada pandangannya yang tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, seperti mengelolah tanah lebih dari satu kali dalam setahun, untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Etos kerja bagi masyarakat Ammatoa tidak lebih hanya bermotif "menjaga" yakni mengumpulkan bahan makanan sebanyak mungkin agar dapat dimanfaatkan pada saat tertentu seperti kegiatan-kegiatan upacara dengan tidak menguras sumber daya alam.
Butir-butir pasang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dipegang teguh masyarakat adat Ammatoa : Pasang satu : "Jagai linoa lollong bonena. Kammayya tompa langika. Siagang rupa taua. Siagang boronga". Dalam bahasa Indonesia berarti jagalah dunia beserta isinya, Begitu juga langit, manusia dan hutan.
Oleh mereka ungkapan ini dipercaya sebagai pesan pertama dari Turie' A'ra'na (Tuhan YMK) kepada amma Toa (Tau marioloa), yang menyatakan bahwa ekositem dunia (lino) adalah sumber kehidupan yang menjadi jaminan keberadaan umat manusia di muka bumi.
Selanjutnya ada pasang lain yang mengingatkan akan ketergantungan terhadap sumber daya hutan sebagai sumber hujan yang demikian besar, sehingga upaya pelestarian adalah amanah yang harus dijalankan oleh seluruh warga masyarakat Ammatoa.
Pasang ini mengingatkan bahwa kalau terjadi penebang-an kayu di hutan secara terus menerus tanpa ada upaya pemulihan, maka akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata air. Oleh karena itu, menurut pasang adalah tidak dibenarkan dan apabila terjadi penebangan maka diidentifikasi sebagai melanggar pasang. Pasang ini secara administratif dijalankan oleh Galla Puto (lembaga yang khusus menangani hutan.
Sedangkan bagi masyarakat yang membutuhkan kayu di hutan, pertama harus disampaikan kepada Galla Puto. Kemudian, Galla Puto akan menyampaikan kepada Ammatoa.
Setelah Ammatoa menganalisis kebutuhan masyarakat, maka selanjutnya diserahkan kepada Galla Lombo'. Galla Lombo' bersama Galla Puto memeriksa ketersediaan kayu di hutan Batasanya. Pemanfaatan kayu hanya sebatas membangun rumah, bukan untuk diperdagangkan. Sebelum menebang satu pohon diwajibkan menanam pohon minimal dua pohon.
(SH/tutut herlina)


FROM:
sINAR hARAPAN
Sabtu, 31 Januari 2004

PESAN SUCI TANA TOA

PESAN SUCI TANA TOA

Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke Tana toa Kajang, Bulukumba. Tidak lain untuk memenuhi tugas liputan budaya dan tradisi dari Kajang untuk segmen Tanah Airku di Trans tv. Ada yang menarik dari saya, sebuah pesan-pesan suci yang membuat saya takjub.

Pesan-pesan Suci itu bunyinya ini:
Naparanakkang juku
Napaloliko raung kuju
Nahambangiko allo
Nabatuiko ere bosi
Napalolo rang ere tua
Nakajariangko tinanang

Pesan-pesan itu memiliki arti:
Ikan bersibak
Pohon-pohon bersemi
Matahari bersinar
Hujan turun
Air tuak menetes
Segala tanaman menjadi

Apa yang berbunyi seperti sajak diatas itu, memang merupakan bagian dari "Pasanga ri Kajang", yaitu pesan-pesan suci yang dipercaya masyarakat adat Tanah Toa Kajang, dan diyakini berasal dari To Rie Akra Na (Pencipta Segala Sesuatu, Yang Maha Kekal dan Maha Mengetahui), yang diturunkan kepada manusia pertama yang disebut Ammatoa. Masyarakat adat yang tinggal di Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Menemukan kekuatan kata pada Pesan-pesan Suci yang arif dari Tana Toa, mengingatkan saya pada kearifan masyarakat adat dimana-mana di bagian bumi Indonesia ini. Masyarakat yang memiliki pesan-pesan suci untuk berbaur dengan alam dan menghargai alam. Masyarakat adat yang di banyak bagian negara ini sering terjepit dan menjadi anak tiri pertiwi. Inilah potret masyarakat kita, yang tentunya harus dihargai, bukan untuk dirusak..


Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa

. Ketgam : Suku Kajang Bulukumba dengan pakaian khasnya bercorak serba hitam, foto : Istimewa

Oleh : Marwan Azis.

Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, PASANG. Bagaimana Masyarakat Adat Kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup?. Berikut ulasannya.

Secara harfiah, Pasang berarti ”pesan” tapi kalau di kalangan masyarakat adat Kajang, Pasang mengandung makna yang lebih dari sekadar sebuah pesan. Eksistensi Pasang sifatnya menjadi sebuah keharusan dan kewajiban untuk dilaksanakan menjadikan posisinya sama halnya dengan nilai wahyu dan atau sunnah yang dikenal dalam ajaran agama-agama samawi.


Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya. Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.

Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.

Bagi orang Kajang diyakini bahwa merawat hutan adalah merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya.

Dengan modal Pasang tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan,”kata Abdul Syukur Ahmad aktivis Koalisi Ornop Untuk Hutan Sulawesi Selatan (KONSTAN).

Kondisi tersebut yang menjadikan Kajang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat-masyarakat adat lainnya di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia dalam membangun kehutanan yang adil dan lestari.
Indikator dari lestarinya hutan di Kajang tidak terlepas dengan kepatutan dan penghormatan atas hukum-hukum adat yang dituangkan dalam Pasang.

Arti Lingkungan Bagi Masyarakat Kajang

Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan-kekuatan itu ada pada benda-benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan-kekuatan alam itu ada pada gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan-kekuatan yang ada di hutan.


Dengan demikian bahwa persepsi masyarakat Kajang terhadap sumberdaya alam ini (termasuk hutan), menunjukkan adanya hubungan antara kepercayaan dengan keberadaan hutan dan prinsip hidup sederhana (tallasa kamase-masea).

Kawasan hutan adat Kajang kaya akan potensi berbagai keanekaragan hayati seperti jenis kayu dan hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, kayu bitti, lebah madu dan berbagai jenis tanaman lainnya. Selain itu kawasan hutan adat Kajang juga memiliki beberapa jenis hewan antara lain rusa, babi, kera, kus-kus serta beberapa jenis burung yang hingga kini masih tetap terjaga.

Fungsi “Patuntung” dalam Pengelolaan Hutan Adat Kajang

Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.

Hal tersebut tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi-fungsi hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi untuk kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya,”jelas Ollong panggilan akrab Abdul Syukur.


Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara spritual dan ekonomi.


Diungkapkan, berdasarkan hasil diskusi antara penggiat hutan berbasis masyarakat se-Sulawesi Selatan yang di fasilitasi oleh KONSTAN di rumah Bapak AMMATOA Kajang beberapa waktu lalu diketahui pembagian fungsi hutan berdasarkan kepercayaan Patuntung yaitu hutan dipandang memiliki fungsi ritual sehingga bagi masyarakat Adat kayang hutan dipercaya sebagai sesuatu yang sakral.

Untuk fungsi ritual tersebut, beberapa upacara-upacara terpenting masyarakat adat Kajang dilakukan dalam kawasan hutan seperti upacara pelantikan AMMATOA, upacara Attunu Passau (upacara kutukan dari pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan beberapa upacara lainnya.

Selain itu, bagi masyarakat adat Kajang juga memfungsikan hutan sebagai pengatur tata air. Fungsi itu terutama untuk mengatur turunnya hujan. Penggiat hutan kemasyarakatan kadang menyebut konsep tersebut dengan nama Community Base Forest Management (CBFM).

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk masyarakat adat Kajang telah lama mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan masuk sembarangan dalam kawasan itu tidak diperbolehkan sama sekali.


Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, sebagai lokasi pengembalaan ternak.


Wilayah komunitas adat kajang bisa dicapai dengan menempuh perjalanan sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Makassar. Semua pengunjung disyaratkan mengenakan pakian serba hitam serta diwajibkan mematuhi semua peraturan adat yang telah ditetapkan Ketua Adat, AMMATOA.

Masyakat Adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Towa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Tuli, Timur berbatasan dengan Limba, sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa dan sebelah Barat berbatasan dengan Doro.

Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa diwilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe. Perkembangan masyarakat adat Kajang hingga saat ini menutur data statistik pemerintah Kabupaten Bulukumba diperkirakan sekitar 44.866 jiwa atau 11,83% dari total penduduk Kabupaten Bulukumba.




Asal Usul Masyarakat Adat Kajang

Berdasarkan sejarah asal-usul. Masyarakat Adat Kajang menetapkan bahwa sejak manusia ada masyarakat adat Kajang sudah ada di muka bumi Penegasan sejarah asal usul tersebut ditetapkan dalam Pasang bahwa ”Yang Maha Kuasa menciptakan bumi Dia bingung dan gelisah karena ada bumi tapi tidak ada penghuninya sehingga Ammatoa menghadirkan adat lima” kata Mahir aktifis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Adat lima tersebut terdiri atas masing-masing; Galla Pantama, Galla Puto, Galla Lombok, Galla Kajang dan Galla Malleleng. Kehadiran adat lima tersebut memberi arti penting bagi Ammatoa sendiri karena di dukung oleh kontribusi pemikiran dan teman diskusi untuk bumi selanjutnya.

Lahirnya adat lima yang dibentuk oleh Ammatoa dengan peran dan tanggung jawab serta keahliannya masing-masing, membutuhkan struktur baru atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan putra mahkota.

Dalam perjalanannya, kemudian lahirlah putra mahkota atau Moncong Bola yang berasal dari Labbiria atau Karaeng. Selanjutnya muncullah Sullehatan dan seterusnya struktur lembaga adat Kajang semakin lama semakin bertambah sesuai kebutuhan komunitas Masyarakat Adat Kajang sampai berjumlah 26 struktur.

Dengan struktur dan pembagian kewenangan yang sangat jelas tersebut, membuktikan bahwa masyarakat adat Kajang sejak dahulu kala sudah mengenal sistem pemerintahan yang sangat kuat. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak beberapa abad yang silam, masyarakat adat Kajang di bawah Kepemimpinan Ammatoa telah membangun hubungan-hubungan dengan masyarakat luar diantaranya dengan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Luwu dan Bone.

Pengalaman dalam membangun kerjasama tersebut, sekarang ini secara langsung bisa di lihat dengan aksebilitas masyarakat adat Kajang dengan pihak luar semakin mudah dan bisa kita saksikan sebagian pemuda-pemudi Kajang keluar untuk urusan studi dan berbagai aktivis lainya.


Sekedar diketahui bahwa kawasan Hutan Tana Towa Kajang, berdasarkan Kepmenhut Nomor: 504/Kpts-II/1997 terdiri atas 331,17 ha. Kawasan hutan di Tana Towa Kajang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.

Dengan status kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut secara otomatis akan berbenturan dengan pengurusan kawasan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang dan sudah berlangsung secara turun-temurun bahkan sebelum negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dimana sudah ada kearifan-kearifan lokal masyarakat adat Kajang)***.


From:
http://greenpressnetwork.blogspot.com/2008/02/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html

INTERAKSI MANUSIA ADAT KAJANG DENGAN LINGKUNGANNYA

INTERAKSI MANUSIA ADAT KAJANG DENGAN LINGKUNGANNYA

PENDAHULUAN

Manusia dan lingkungan hidupnya adalah dua hal yang saling bergantung satu sama lain. Ada kaitan erat di antara kedua sistem ini. Manusia adalah suatu sistem kompleks dari makhluk hidup yang terdiri dari sel-sel di dalam tubuhnya. Untuk bertahan hidup (survival), manusia berinteraksi dengan lingkungan dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan lingkungan hidup merupakan suatu sistem akbar dari kehidupan makhluk hidup dan di dalamnya termasuk manusia itu sendiri. Dengan singkat dikatakan bahwa manusia termasuk dalam sistem lingkungan hidup itu sendiri.

Kedua komponen kehidupan ini telah mengalami proses saling mempengaruhi satu sama lain sejak dahulu kala. Sejak manusia pertama kali menginjakkan kakinya ke muka bumi, maka sejak itu pula proses itu dimulai. Proses saling mempengaruhi ini dapat kita lihat pada beberapa kasus dalam kehidupan sehari-hari. Manusia yang tinggal di daerah dingin (kutub utara misalnya) akan mencoba mengadaptasikan dirinya dengan memakai pakaian yang tebal sebagai penahan dingin. Contoh lainnya adalah ketika manusia ingin membuka lahan, maka dilakukanlah penebangan pohon sehingga terjadi perubahan lingkungan, misalnya lahan yang tadinya berupa hutan dapat berubah menjadi lahan persawahan atau suatu kota yang indah. Juga ketika manusia dalam kehidupannya meningkatkan pemakaian gas freon yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya lapisan ozon, dan akibatnya selanjutnya adalah terjadinya perubahan intensitas sinar matahari yang sampai ke bumi. Contoh-contoh ini menunjukkan pada kita bahwa proses saling mempengaruhi adalah suatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia dengan lingkungannya.

Secara umum diketahui bahwa akibat kegiatan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sering terjadi degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan adalah menurunnya peruntukan lahan akibat kegiatan manusia di dalamnya. Contoh yang paling sering kita temui mengenai degradasi lingkungan adalah longsor akibat penebangan pohon di daerah yang memiliki kemiringan cukup besar dan juga banjir yang sering melanda karena kurangnya daerah resapan air, yang merupakan akibat dari berkurangnya pepohonan sebagai komponen utama peresap air. Hal-hal seperti itu sangat jelas merupakan dampak negatif dari tindakan manusia dalam mempengaruhi lingkungannya yang nantinya juga akan berdampak negatif terhadap manusia itu sendiri. Akibat dampak-dampak negatif yang timbul itu, maka perhatian terhadap keadaan lingkungan hidup mulai bermunculan satu per satu dari tiap kalangan, yang pada intinya mereka menuntut adanya perlakuan khusus terhadap lingkungan hidup agar kelestariannya tetap terjaga.

“Bumi bukan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan anak cucu kita”.[1] Demikian bunyi sebuah kalimat dari pemerhati lingkungan. Sebenarnya perhatian terhadap lingkungan hidup telah dimulai sejak dasawarsa 1970-an. Hal ini dijelaskan oleh Soemarwoto (2004 : 1):

Permasalahan lingkungan hidup, atau secara pendek lingkungan, mendapat perhatian yang besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konprensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm dalam tahun 1972. Konprensi itu terkenal pula sebagai Konprensi Stokholm. Hari pembukaan konprensi itu, tanggal 5 Juni, telah disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Dalam konprensi Stokholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu di antaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas besar di Nairobi, Kenya.[2]

Selanjutnya Soemarwoto (2004 : 1) menjelaskan mengenai kemunculan perhatian lingkungan hidup di Indonesia. “Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah mulai muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari dunia barat yang dikutip oleh media massa kita.” Hal ini menggambarkan kepada kita, bahwa masalah lingkungan sebenarnya telah lama mendapat perhatian. Akan tetapi kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari mengatakan bahwa hampir tidak ada perhatian yang terwujud di dalamnya. Sebagian orang mengasumsikan bahwa hal ini terjadi karena solusi yang diterapkan kadang mengalami penyimpangan ketika sampai di lapangan. Contoh misalnya peraturan tentang persentase hutan yang boleh dipotong adalah 30% dari keseluruhan hutan yang ada di suatu daerah. Dalam pelaksanaannya hal ini mengalami penyimpangan karena banyak kasus yang didapatkan bahwa pemotongan hutan melebihi ketentuan 30% tersebut.[3] Dan parahnya lagi kadang hal tersebut diketahui oleh pihak yang terkait dan mereka tidak memberikan sanksi yang berat kepada pelakunya, sehingga hal itu terus saja terjadi dan semakin bertambah parah menjadi illegal logging (pembalakan liar).

Hal yang menarik ditemukan ketika kita mengamati kehidupan masyarakat adat yang umumnya tinggal di dalam hutan, misalnya manusia adat Kajang yang terletak di desa Tanah Towa, kabupaten Bulukumba. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hutan yang berada di sekitar areal tersebut hingga hari ini masih terjaga kelestariaannya.

Banyak penelitian yang menemukan bahwa ada kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat adat ini dalam mengelola dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kearifan lokal ini dipegang teguh oleh masyarakatnya dan apabila terjadi penyimpangan di dalamnya, maka sanksi yang jelas dan berat sudah siap menanti pelakunya.

Oleh karena interaksi lingkungan yang terjadi antara manusia “Kajang-dalam”[4] dengan lingkungannya yang berbeda dari biasanya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan di daerah ini. Dan hal ini pula yang mendasari dari penulisan makalah yang membahas kearifan lokal masyarakat adat Kajang[5] dalam memperlakukan hutannya ini.

ISI

Lingkungan adalah suatu sistem yang di dalamnya termasuk makhluk hidup, salah satunya adalah manusia. Manusia dalam statusnya sebagai salah satu komponen di dalam sistem lingkungan, memperlakukan lingkungannya sebagai salah satu faktor penunjang kelangsungan hidup. Manusia mengelola lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dan proses ini telah berlangsung sejak lama yang diperkirakan sejak manusia pertama menginjakkan kakinya di muka bumi.

Awalnya manusia mengeksploitasi lingkungannya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata (survival). Peralihan zaman mengakibatkan perubahan pola pengelolaan lingkungan. Hari ini dapat kita lihat bahwa lingkungan telah menjadi salah satu komoditi bisnis yang menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Contoh yang paling nyata adalah eksploitasi hutan dengan tujuan yang cukup beragam.

Suryohadikusumo (dalam Ibrahim, 1996)[6] menjelaskan manfaat dari keberadaan hutan. Beliau menyatakan bahwa terdapat manfaat langsung dan tidak langsung akibat keberadaan hutan sebagai salah satu komponen lingkungan. Namun manfaat tersebut dapat tetap dirasakan bukan hanya pada masyarakat kini, melainkan juga untuk masyarakat yang akan datang, jika diterapkan kebijaksanaan dalam pengelolaannya. Kebijaksanaan itu dapat berupa aturan-aturan dalam mengelola hutan secara khusus, dan lingkungan hidup secara umum.

Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, menganut atau bersandar pada Pasang (pesan). Pasang yang dimaksud adalah pesan, amanat, perintah, yang bersifat memaksa dan mengikat penganutnya. Oleh karena sifat itulah maka Pasang ini mempunyai sanksi yang jelas dan tegas terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedudukan Pasang jika coba diteliti lebih lanjut, maka akan tampak bahwa Pasang -menurut penganutnya- setara kedudukannya dengan hadist dalam agama Islam. Di mana diketahui bahwa hadist adalah ucapan dan perilaku nabi yang dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, maka demikian pula halnya dengan Pasang yang berlaku di masyarakat adat Kajang. Menurut masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma atau nilai yang harus dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan mengakibatkan dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya.

Kondisi Geografis Desa Tana Toa – Kajang

Ibrahim (2006)[7] menjelaskan mengenai kondisi letak geografis desa Tana Toa. Menurutnya, secara administratif desa Tana Toa merupakan satu dari sembilan belas desa yang berada dalam wilayah kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa merupakan desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat menjaga peradaban mereka hingga hari ini. Desa ini secara berbatasan dengan:

Sebelah utara : Tuli

Sebelah selatan : Limba

Sebelah timur : Seppa

Sebelah barat : Doro[8]

Hasil wawancara dengan kepala desa setempat memberikan penjelasan bahwa luas wilayah desa Tana Toa ini adalah 331,17 ha secara keseluruhan, baik yang termasuk wilayah Kajang dalam maupun Kajang luar. Dan dari 331,17 ha tersebut, sekitar 90 ha digunakan sebagai lahan pertanian tadah hujan. Tanaman yang dibudidayakan di atas lahan seluas itu cukup beragam, di antaranya padi, jagung, coklat, kopi, dan lain-lain.

Desa ini dinamakan Tana Toa (tanah yang tertua di dunia) dikarenakan kepercayaan masyarakat adatnya. Ibrahim (2006)[9] menjelaskan mengenai kepercayaan ini. Menurutnya, masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan (Turie’ A’ra’na)[10] berada di dalam kawasan hutan dan dinamakan Tombolo’. Daerah itu diyakini sebagai Tana Toa atau daerah yang tertua di dunia, sehingga diabadikanlah namanya menjadi nama desa tersebut, yaitu desa Tana Toa.

Desa Tana Toa, secara nyata, mempunyai kondisi hutan yang sangat lebat. Jika diamati dengan teliti, hampir seluruh dusun yang berada di dalamnya di kelilingi hutan. Sama sekali tidak ada jalan beraspal di dalam kawasan ini. Hanya berupa jalan setapak yang terbuat dari batu-batu yang disusun secara teratur sebagai penanda jalan. Letak sawah pertaniannya adalah dekat rumah Amma Toa, tepatnya di bawah bukit. Cukup luas dan subur terlihat dari kejauhan.[11]

Karakteristik Masyarakat Adat Desa Tana Toa - Kajang

Masyarakat adat Kajang dicirikan dengan pakaian serba hitam. Makna hitam ini menurut pemuka adat melambangkan kebersahajaan. Nilai kebersahajaan ini tidak saja dapat dilihat dari pakaian itu, melainkan juga terlihat dari rumah penduduk yang mendiami daerah dalam kawasan ini. Dari hasil observasi di lapangan diketahui bahwa tidak ada satupun rumah di dalam kawasan adat ini yang berdinding tembok. Semuanya berdinding papan dan beratap rumbia, terkecuali rumah Ammatoa yang berdinding bambu. Tidak akan kita temukan satu pun di dalam kawasan ini rumah yang modelnya seperti yang sering kita lihat di perkotaan. Semuanya sama bahkan terkesan seragam mulai dari bentuk, ukuran, dan warnanya.

Masyarakat adat Kajang menggunakan bahasa Makassar yang berdialek Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Olehnya itu, akan sangat sulit ditemukan orang yang mampu berbahasa Indonesia di dalam kawasan ini. Umumnya sebahagian besar penduduk tidak pernah merasakan bangku pendidikan formal, meskipun beberapa tahun terakhir ini telah didirikan sekolah tepat di depan pintu masuk kawasan ini.

Sebahagian besar penduduknya bermata-pencaharian sebagai petani, tukang kayu dan penenun. Aktivitas ini pun dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tanpa ada kecenderungan mencari sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup mereka. Nilai kesederhanaan atau kebersahajaan inilah yang membuat masyarakat adat Kajang identik dengan istilah “Tallasa’ kamase-masea” atau hidup bersahaja. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang:

Ammentengko nu kamase-mase.

A’cci’dongko nu kamase-mase.

A’dakkako nu kamase-mase.

A’meako nu kamase-mase.

Artinya:

Berdiri engkau sederhana.

Duduk engkau sederhana.

Berjalan engkau sederhana.

Berbicara engkau sederhana.

Dan juga dalam Pasang:

Anre kalumannyang kalupepeang.

Rie’ kamase-masea.

Angnganre na rie’.

Care-care na rie’.

Pammalli juku’ na rie’.

Koko na rie’.

Balla situju-tuju.

Artinya:

Kekayaan itu tidak kekal.

Yang ada hanya kesederhanaan.

Makan secukupnya.

Pakaian secukupnya.

Pembeli ikan secukupnya.

Kebun secukupnya.

Rumah seadanya.[12]

Tallasa’ kamase-masea ini adalah merupakan prinsip hidup masyarakat adat Kajang. Ia dipegang teguh oleh warganya, meskipun secara sadar mereka mengetahui bahwa hidup lebih sejahtera dapat mereka peroleh karena potensi sumber daya lingkungan (hutan) yang mendukung.

Hampir setiap masyarakat adat yang masih eksis di Indonesia, secara umum juga memiliki struktur lembaga di dalam adatnya masing-masing. Tidak terkecuali dengan masyarakat adat Kajang ini. Mereka mempunyai struktur lembaga yang menurut logika sulit dibuat oleh orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan. Bahkan yang lebih mengesankan adalah masing-masing individu yang masuk dalam struktur dan menduduki suatu posisi dalam lembaga adat, menjalankan amanahnya secara jujur dan konsisten. Mereka memahami arti tugas dan tanggung jawab meskipun tidak pernah mendapatkan pelajaran formal mengetahui hal itu. Satu-satunya yang mengajari mereka adalah adat yang mereka junjung tinggi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Struktur lembaga adat masyarakat ini begitu lengkap dengan menteri-menterinya. Sesuatu yang sulit dijelaskan dengan logika karena struktur tersebut disusun telah lama sebelum Indonesia merdeka dan oleh orang yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan.Pemimpin tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan di kawasan adat Tana Toa ini adalah Amma Toa. Amma Toa inilah yang bertanggung jawab terhadap pelestarian dan pelaksanaan Pasang di komunitasnya. Sebagai wakil dari Turie’ A’ra’na di muka bumi, ia bertugas menjaga agar masyarakat tetap mentaati isi Pasang. Hal ini dijelaskan dalam Pasang yang berlaku di komunitas Amma Toa.

Anjo Karaenga se’reji, karaeng Allah Ta’alaji,

mingka rie’nikua karaeng labbiriyya.

Karaeng labbiriyya battuanna parekna Allah Ta’ala.

Karaeng Allah Ta’ala taniassengai niurang abbicara,

Jari annanroi karaeng di bohena linoa,

Iyami antu nikua ada, iyamintu Amma Toa

Artinya:

Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah Ta’ala

Tapi ada yang disebut raja mulia

Yang diciptakan oleh Allah Ta’ala

Karaeng Allah Ta’ala tidak dapat secara langsung diajak berbicara

Jadi Allah menetapkan wakilnya di bumi

Itulah yang disebut adat, itulah Amma Toa[13]

Demikianlah alasan utama sehingga sampai hari ini, adat dan nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas Amma Toa masih tetap lestari. Disebabkan keberadaan seorang pemimpin adat, yang secara hakikat mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat beserta nilai-nilai yang berlaku di dalam komunitas adat desa Tana Toa.

Interaksi Masyarakat Adat Kajang dengan Lingkungannya

Prinsip hidup yang tertuang dalam “tallasa’ kamase-masea” ternyata menjadi salah satu alasan tetap lestarinya hutan yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa ini. Ibrahim (2006) menjelaskan hal ini secara gamblang. “Prinsip hidup sederhana seperti Balla’ situju-tuju (rumah seadanya) mengakibatkan pemakaian kayu yang efisien, menjadikan hutan sebagai tempat yang multi-fungsi dan memiliki peran yang sangat penting dan sakral menjadikan hutan terjaga dengan lestari, meskipun bisa dimanfaatkan.”[14] Bukti dari hal ini dapat kita lihat sekarang di dalam kawasan adat Amma Toa. Pepohonan ada seperti sedia kalanya, dan meskipun ada pohon yang tumbang dengan sendirinya, maka ia tetap tidak boleh diambil oleh masyarakat. Singkatnya dibiarkan begitu saja.

Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.

Berikut ini adalah ringkasan aturan mengenai pemanfaatan hutan yang dikutip secara intensif dari Makalah “ “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan Adat, Di Desa Tanatoa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan ”, yang ditulis oleh Tamzil Ibrahim (2006).

Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:

* Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (pammantanganna sikamma To riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:

Talakullei nisambei kajua,

Iyato’ minjo kaju timboa.

Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka.

Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga,

Nasaba’ se’re wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna

Artinya

Tidak bisa diganti kayunya,

Itu saja kayu yang tumbuh

Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.

Orang dilarang menanam di dalam hutan

Sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma Toa. Dan kalau ternyata terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat ini, maka akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’. Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real[15] (12 real) atau 24 ohang. Denda ini jika di-rupiah-kan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan. Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: ta’bang kaju (menebang kayu), rao’ doang (mengambil udang), tattang uhe’ (mengambil rotan), dan tunu bani (membakar lebah).

* Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.

Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.

Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama-tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.

Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Amma Toa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’. Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang, yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain itu, dikenal juga sanksi ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu gulung kain putih.

Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

* Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang-wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini.[16]

Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan)[17]. Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.

Hutan di kawasan adat Amma Toa diakui oleh masyarakatnya sebagai hutan adat karena adanya kepercayaan bahwa keberadaan mereka bersamaan dengan keberadaan hutan. Selain itu juga kehidupan mereka sangat erat dengan hutan, seperti pelaksanaan upacara adat yang dilakukan dalam hutan. Masyarakat juga percaya bahwa hutan mereka adalah sebagai tempat turunnya To mariolo (manusia terdahulu) yang diyakini sebagai Amma Toa I (Amma’ Mariolo) dan kemudian lenyap di tempat tersebut. Dan mereka juga meyakini bahwa hutan adalah tempat turun-naiknya arwah manusia dari langit ke bumi dan sebaliknya. Keyakinan atau kepercayaan inilah yang menyebabkan kuatnya keterikatan antara komunitas ini dengan hutan, sehingga tidak mengherankan jika hutan mereka relatif stabil dan lestari hingga hari ini.

Ajaran Pasang yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari komunitas Amma Toa ternyata dinilai ampuh dalam usaha melestarikan hutan mereka. Selain ajaran Pasang itu, juga terdapat aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.[18]

Patuntung dalam bahasa Makassar diartikan sebagai penahan; terbentur.[19] Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika ia tetap bersikeras melakukannya, maka ia akan terbentur sehingga berhenti. Kalau coba dianalisis, maka Patuntung ini adalah ajaran yang mengikat masyarakat adat Kajang, sehingga mereka akan berhati-hati untuk melakukan sesuatu.

Patuntung ini, seperti disebutkan di atas, mengikat masyarakat adat Kajang. Artinya ini hanya berlaku bagi masyarakatnya saja. Patuntung ini diasumsikan mengatur bagaimana cara masyarakatnya menjalin interaksi dengan lingkungan luar adat. Hal ini dapat dimengerti bahwa kondisi luar kawasan adat ini telah terinfeksi dengan berbagai paham dunia, salah satunya adalah kapitalisme. Jika paham ini sampai merasuki kawasan adat Amma Toa, maka kelestarian hutan tidak akan berlangsung lama. Olehnya itu, perlu ada aturan yang mengatur masyarakatnya dalam berinteraksi dengan masyarakat luar agar pengaruh masyarakat luar yang bersifat negatif, tidak diterapkan dalam kawasan adat.

PENUTUP

Penjelasan mengenai aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat Kajang yang hingga hari ini masih eksis di nusantara Indonesia beserta dengan prinsip hidup bersahajanya (tallasa’ kamase-masea), ternyata menjadi jawaban terhadap pertanyaan mengapa hutan di Kajang masih tetap lestari hingga hari ini. Kearifan lokal yang dimiliki, yang merupakan implementasi ajaran-ajaran Pasang, telah membuka mata dunia akan eksistensi hutan yang lestari.

Teori “Keserakahan Manusia”[20] tidak berlaku di kawasan Amma Toa ini. Meskipun teori itu ada, tapi adat mereka sebagai benteng yang kokoh menjadi penghalang utama. Sulit untuk dirobohkan karena ia dibangun oleh kesadaran masyarakatnya. Komunitas adat ini lebih memilih untuk hidup terbelakang dan jauh dari peradaban modern dibanding hidup dengan kelimpahan, tapi menafikan keberadaan lingkungan.

Hutan yang lestari itu ada, meskipun di dalamnya ada manusia. Hal ini dibuktikan oleh kawasan adat Amma Toa. Ada sekitar 40 ribu jiwa manusia di dalam kawasan ini, dengan sekitar 330 ha hutan yang masih utuh sampai sekarang. Cukup mengesankan. Namun yang lebih mengesankan adalah fakta bahwa manusia yang mengelola hutan ini adalah manusia-manusia yang hampir tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka tidak memiliki pengetahuan formal mengenai tata cara pengelolaan hutan yang baik, bahkan mereka tidak tahu baca-tulis. Satu-satunya yang mengajari mereka berinteraksi dengan lingkungan, memperlakukan hutannya secara bijak dan mengekang nafsu “kapitalisme”-nya adalah adat. Adat bagi mereka adalah sesuatu yang mereka junjung tinggi. Sesuatu yang mereka letakkan di atas kebutuhan hidup dan sesuatu yang mengajarkan mereka melangkah dengan baik dalam menjalani kehidupan dunia.

“Jangan lihat ayamnya, tapi lihat telurnya”[21] adalah ungkapan yang selayaknya dipakai memandang hal ini. Secara sepintas, mereka adalah manusia yang ketinggalan zaman. Akan tetapi secara hakikat, mereka adalah teladan yang patut dicontoh dalam hal berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan tidak diperlakukan sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai sesuatu yang patut dijaga demi keberlangsungan hidup bersama.

Sebagai penutup, penulis mengutip lagi salah satu Pasang yang merupakan alasan terakhir tentang kelestarian hutan kawasan Amma Toa dan sebagai bahan renungan bagi kita semua.

Jagai linoa, lollong bonena.

Kammayya tompa langika.

Siagang rupataua.

Siagang boronga.

Artinya:

Peliharalah dunia beserta isinya.

Begitu juga dengan langit.

Dengan manusia.

Dan dengan hutannya.[22]

DAFTAR PUSTAKA

Azis, Marwan. Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa, Diakses pada Tanggal 29 November 2007. http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.

Ibrahim,Tamzil. 1996. Social Forestry (Perhutanan Sosial). Makalah Pengembangan Konsep Program Perhutanan Sosial.

Ibrahim,Tamzil. 2006. “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Desa TanaToa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Makalah Penunjang Komisi Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL).

Restu, Muhammad dan Emil Sinohadji. Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang). Diakses pada Tanggal 29 November 2007. http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22〈=ind.

Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: UI Press.

[1] Kalimat yang akrab didengar pada Hari Bumi, 22 April setiap tahunnya

[2] Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta, 2004), hal. 1.

[3] Hasil diskusi penulis dengan Bapak Tamzil Ibrahim selaku dosen di sela-sela praktek lapang yang diadakan di desa Tana Toa, Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tanggal 16 – 18 November 2007.

[4] Sebuah istilah yang membedakan antara masyarakat yang berada di dalam kawasan dengan yang berada di luar kawasan adat Amma Toa.

[5] Penulis terkadang melakukan penulisan yang berlainan untuk penyebutan masyarakat adat Kajang. Kadang dengan kata komunitas Amma Toa, kawasan adat Kajang, dan lain-lain. Penulis tidak bermaksud untuk inkonsistensi, melainkan berupaya secara sengaja melakukan itu agar penulis tidak terlalu kaku dalam penyebutan masyarakat adat ini.

[6] Tamzil Ibrahim, Social Forestry (Perhutanan Sosial), Makalah Pengembangan Konsep Program Perhutanan Sosial, 1996, hal.1.

[7] Tamzil Ibrahim, “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Desa TanaToa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Makalah Penunjang pada Konas Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL), tgl. 15 -16 Mei 2006 di Banjarmasin, hal. 3.

[8] Lihat http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.

[9] Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 4.

[10] Turie’ A’ra’na adalah bahasa Konjo yang digunakan masyarakat adat Kajang untuk menyebut kata Tuhan. Kata itu dapat diartikan sebagai Yang Berkehendak dalam bahasa Indonesia.

[11] Penulis bersama warga dalam kawasan berjalan-jalan melihat kondisi lingkungan sekitar kediaman Amma Toa. Warga memperlihatkan sawah tempat para komunitas Amma Toa menanam padinya. Terletak di bawah bukit tempat kami mengamati persawahan itu. Terlihat subur dan menghijau di mana areal persawahan itu diapit oleh dua bukit.

[12] Lihat http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22〈=ind.

[13] Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 5.

[14] Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 17.

[15] Real adalah mata uang yang masih berlaku di dalam kawasan ini. Meskipun keberadaannya sekarang mulai tergantikan dengan mata uang rupiah akibat kegiatan ekonomi masyarakatnya yang lintas kawasan.

[16] Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 11.

[17] Lihat http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22〈=ind.

[18] Lihat Lihat http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.

[19] Mengingat bahasa Konjo sebahagian besarnya bahasa Makassar, maka penulis mengasumsikan bahwa kata Patuntung itu berasal dari bahasa Makassar juga. Olehnya itu, penulis mencoba mengartikan kata itu dan mencoba mencari hubungan dengan prinsip Patuntung yang penulis dapat dari internet dan dari hasil wawancara dengan pemuka adat.

[20] Menurut penulis, teori “Keserakahan Manusia” adalah teori yang menyatakan bahwa manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara eksploitatif tanpa memperhatikan keberlangsungan sumber daya tersebut. Penulis tidak bermaksud untuk membuat teori baru tanpa landasan penelitian ilmiah, melainkan bermaksud menggambarkan sifat manusia yang menganut paham kapitalisme.

[21] Ungkapan seperti ini adalah analogi (persamaan nilai) yang dapat diartikan bahwa jangan pernah memandang siapa orang yang mengatakan (melakukan) itu, tapi memperhatikan apa yang dikatakan atau dilakukan orang itu.

[22] Lihat http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22〈=ind.


FROM:
http://alrawali.wordpress.com/berita-daerah/interaksi-manusia-adat-kajang-dengan-lingkungannya/

BADUI SULAWESI

KAJANG, BADUI SULAWESI

osok mereka akan mengingatkan kita pada keberadaan masyarakat Badui di Banten. Pakaian serba hitam, kaum lelaki berikat kepala, tak berkendaraan ke manapun hendak pergi, serta lingkungan tempat tinggal yang terisolasi dari dunia modern. Di balik segala "keganjilan" itu, masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan menyimpan kearifan menyangkut hubungannya dengan alam dan sesama manusia.

Sebuah rumah kayu beratap rumbia, dengan papan bertuliskan: "Selamat Datang Kawasan Adat Ammatoa", benar-benar melegakan hati saya. Bagaimana tidak. Dua jam saya harus berputar-putar di wilayah Kecamatan Kajang dengan mobil angkot tua carteran, hanya untuk menemukan tulisan itu. Apalagi sesekali jantung ini harus terpompa cepat saat mobil menelusuri jalan-jalan perbukitan yang curam dan basah oleh air hujan.

Rumah yang juga merupakan pintu gerbang menuju kawasan adat itu sekaligus menjadi simbol pembatas dua komunitas suku Kajang, kita sebut saja Kajang "luar" dan "dalam". Ciri masyarakat Kajang dalam, dapat segera dikenali dari pakaian serba hitam, yang beberapa di antaranya sudah mulai terlihat di sepanjang perjalanan saya menuju Tana Toa ini. Dari sorot matanya, tampak mereka menerima kedatangan orang luar seperti saya dalam keramahan, meski tak terucap sepatah katapun.

Meski seperti mengisolasi diri, warga suku Kajang sudah terbiasa menerima dan berinteraksi dengan orang luar. Hal ini segera bisa diketahui dari buku tamu di rumah Abdul Salam Nur, kepala Desa Tana Toa. Sejumlah peneliti Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, wartawan, rombongan pelajar SMP-SMU, atau turis-turis perorangan dari Prancis, Amerika, dan Jepang. Semua tercatat lengkap, selain menjadi semacam tanda bukti penyampaian "ucapan terima kasih" karena telah dibolehkan masuk ke kawasan cagar budaya itu.

Ah, Kajang Tana Toa sudah menjadi tempat wisata rupanya. Apakah sudah menjadi komersial? Pertanyaan itu benar-benar mengusik hati saya.

Doa untuk anak cucu
Suku Kajang menyebut tanah tempat mereka berdiam sebagai Tana Toa, "tanah tertua". Dalam kepercayaan mereka, tanah ini memang telah tua umurnya dan pernah menjadi tempat satu-satunya berpijak saat Bumi masih berupa lautan luas. Di tanah ini pula muncul sepasang manusia pertama ciptaan Tu Rie' A'ra 'Na (Yang Maha Kuasa) yang disebut Amma (bapak) dan Angrota (ibu). Mirip kisah Adam dan Hawa dalam ajaran agama samawi, pasangan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal seluruh umat manusia saat ini.

Bagi orang luar Kajang, mungkin kepercayaan itu terasa menggelikan. Namun, sebenarnya mitos tentang manusia pertama berkembang juga di daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, yang disebut Tumanurung. Manusia yang dikisahkan turun dari langit itu menurunkan raja-raja Bugis.

Namun, Anda jangan bingung dengan Desa Tana Toa, yang secara kewilayahan masuk Kabupaten Bulukumba. "Tana Toa" merupakan bagian dari desa seluas 19,50 km2 dan dihuni sekitar 700 kepala keluarga ini. Desa Tana Toa terdiri atas tujuh dusun, lima di antaranya merupakan kawasan adat. Salah satunya Dusun Benteng, tempat tinggal Ammatoa, pemimpin adat suku Kajang.

Kehidupan di Dusun Benteng bisa dianggap mewakili keberadaan Suku Kajang umumnya. Begitu kita melangkah ke dalam, nuansa keaslian masa silam langsung terasa. Nyaris tidak ada sentuhan modern sama sekali. Rumah penduduk dibangun mirip bola, atau rumah tradisional Bugis atau Makassar. Bedanya, di Kajang semua dibangun menghadap Gunung Lompobatang di sebelah barat sesuai kepercayaan Patuntung yang dianut masyarakat setempat.

Rumah-rumah panggung berbahan utama kayu bitih itu mempunyai ciri khas yang segera dapat dikenali, yakni penyangganya yang berupa 16 tiang dan tertanam langsung ke tanah. Maksudnya agar setiap orang selalu bersatu dengan 'ibu' mereka, yaitu tanah di Bumi," terang Thamrin Tawang, penduduk setempat yang menemani saya menjelajah tanah tua itu.

Warga suku Kajang seluruhnya bertani, menanam padi dan jagung. Hasil panen semua dikonsumsi sendiri. Jika ada kelebihan, baru dijual. Seolah tak ingin membuang waktu, Thamrin langsung mengajak kami menemui Puto Palasa, Ammatoa Kajang saat ini. Rumahnya ternyata hanya berjarak sekitar 300 m dari pintu gerbang Dusun Benteng. Beruntung, saat itu Ammatoa bersedia menerima saya, karena konon tak semua tamu bisa diterima. Sebagai pemimpin adat sekaligus wakil Tu Rie' A'ra 'Na di Bumi, kesibukan utama Ammatoa adalah berdoa untuk keselamatan cucu-cucunya di seluruh muka Bumi.

Poster Leony di dinding
Wajah Puto Palasa terlihat relatif muda di usianya yang sekitar 60 tahun. Mungkin karena kendala bahasa, selama diwawancarai, Ammatoa banyak tersenyum saja. Ia juga menolak untuk dipotret dengan alasan yang cukup unik: "Nanti orang tidak akan mau bertemu saya lagi, karena kalau dia rindu, maka cukup melihat foto saja dan tidak bertemu saya," tutur Ammatoa ke-12, yang memang dikenal humoris ini.

Meski dijabat seumur hidup, Ammatoa bukanlah jabatan yang diwariskan seperti raja. Pemilihan Ammatoa dilaksanakan dalam sebuah pemilu dengan melibatkan seluruh warga yang memiliki hak pilih. Kendati dihadiri warga, Ammatoa sendiri terpilih lewat tanda-tanda gaib seperti asap dupa yang mengarah ke dirinya, ayam putih hinggap di bahunya, serta kerbau yang menghampiri kediamannya. Upacara ini bisa berlangsung berminggu-minggu dan tertutup di tengah hutan.

Melalui Thamrin yang menerjemahkan segala perkataannya, Ammatoa antara lain menyatakan cukup senang jika anak cucunya datang berkunjung. Ia tidak pernah curiga akan adanya maksud tidak baik dari tamu-tamunya yang bermaksud mengganggu ketenangan warga suku Kajang. "Kami menganggap semua orang jujur dan datang dengan niat baik," tuturnya dalam bahasa Konjo yang digunakan suku Kajang. Konon, jika ada tamu berniat tidak baik sekalipun, Ammatoa akan mengetahui melalui mata batinnya.

Dengan segala keramahan itu, rasanya tak heran jika banyak orang luar yang pernah tinggal lama di dalam wilayah adat. Tak sedikit peneliti, bahkan warga negara asing, kerasan tinggal di Kajang bertahun-tahun sampai mahir berbahasa Konjo. Orang dari suku-suku lain juga memungkinkan untuk hidup bersama warga Kajang (bahkan berkeluarga), asal bersedia mengikuti aturan-aturan setempat. Salah satunya, harus berbaju hitam setiap hari!

Berbekal izin Ammatoa, saya bisa melongok isi beberapa rumah warga. Setiap rumah rupanya berarsitektur sama, dindingnya papan kayu dipasang vertikal dan berlantaikan jalinan bambu. Uniknya, rumah yang rata-rata mempunyai luas bangunan 70 - 100 m2 ini tidak memiliki dinding penyekat antara tamu dan keluarga pemilik rumah. Rupanya, ini manifestasi falsafah keterbukaan warga Kajang, yang berprinsip "jika tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus ditutupi?" Keterbukaan ini juga bisa diartikan, isi rumah tidak didapat dari hasil tidak halal.

Ciri lain yang juga mencolok adalah keberadaan dapur di sisi kiri pintu masuk rumah. Ini dimaksudkan agar tamu bisa melihat apa yang tengah dipersiapkan untuk menjamunya tanpa harus takut dicelakai. Namun, jika dapur sudah mulai berasap, para tamu pantang untuk menampik apa pun sajian tuan rumah.

Rumah-rumah penduduk Kajang umumnya sangat sederhana, hingga akibatnya terkesan kurang memperhatikan kesehatan. Lumbung tempat menyimpan hasil panen dan alat pertanian ditempatkan di atas rumah. Di sisi dapur setiap rumah, terdapat tempat buang air kecil yang limbahnya langsung terbuang ke bawah tanpa sanitasi yang baik. Sementara di bawah rumah juga terdapat kandang ternak sapi, kuda, dan ayam.

Di dalam rumah, sama sekali tidak ada perabot modern karena memang diharamkan oleh adat mereka. Barang-barang buatan luar yang dipakai hanya sebatas piring-gelas atau botol untuk wadah minyak. Untuk membawa air dari sumur atau sungai mereka menggunakan bilah, sejenis labu sebesar bola plastik.

Jika tidak membantu di sawah, perempuan suku Kajang akan sibuk menenun tope, semacam sarung tradisional. Keahlian warisan turun-temurun ini biasanya dilakukan di bawah rumah panggung, sambil mengawasi anak-anak mereka yang bermain. Benang tenunan dibeli dari Pasar Kalimporo yang terletak 8 km dari wilayah adat. Agar berwarna hitam pekat, kain diberi tarung, pewarna alami yang diambil dari hutan.

Karena merasa sedang berada jauh dari peradaban modern, maka saya agak terperanjat menyaksikan poster artis Leony, Siti Nurhaliza, dan Christina Aguilera, tertempel di rumah keluarga Puto Laling. Bagaimana keluarga ini bisa memajangnya jika mereka tidak pernah menonton televisi? Menyadari keheranan dan pertanyaan saya, Thamrin buru-buru menjelaskan bahwa anak perempuan keluarga itu yang berusia belasan sekadar menempel poster itu saja tanpa tahu wajah siapa itu. "Pokoknya, asal kelihatan cantik, ya dipasang saja."

Ya, ya. Saya mengerti kok.

Tanah, sang ibu
Sesuatu yang dimaknai orang luar sebagai "keterbelakangan" suku Kajang, sesungguhnya bukan tidak disadari warga suku itu. Namun, mereka bergeming dalam situasi itu semata-mata karena telah lama terikat dengan Pasang Ri Kajang, atau nilai-nilai tertinggi dalam kehidupan yang bersumber dari Yang Maha Kuasa.

Ajaran Pasang yang tidak disebut sebagai agama ini mengejawantah dalam Kamase-mase yang menjadi landasan fisik warga suku Kajang selama hidup di dunia. Orang Kajang sendiri adalah pemeluk Islam Patuntung, suatu sinkretisme Islam dengan kepercayaan Patuntung atau pengejawantahan nilai Pasang melalui aspek rohani. Segala pola pikir dan tindak tanduk warga Kajang tak akan pernah lepas dari dua ajaran warisan nenek moyang itu.

Dengan Kamase-mase itu pula warga suku Kajang hidup dalam harmonisasinya dengan alam. Misalnya, keberadaan hutan di sekitar Tana Toa tetap lestari karena mereka meyakini tanah adalah angrota atau "sang ibu", yang telah melahirkan mereka. Sebuah sikap yang secara tidak langsung telah menjaga lingkungan mereka dari kerusakan sumber air dan ekosistem. Sikap ini juga terlihat saat mereka menggarap sawah dan ladang yang dilakukan tanpa merusak tanahnya. Melipatgandakan panen dengan jalan menanam lebih dari sekali dalam setahun tidak dilarang. Namun, penggunaan pupuk dan pestisida tidak diperbolehkan.

Dalam sistem pemerintahan, kamase-mase juga memberi tuntunan tentang kearifan seorang pemimpin. Dalam buku Potret Manusia Kajang terbitan Pustaka Refleksi (2003) tertulis antara lain Lambusu 'nuji nukaraeng, gattannuja nuada', sa' barunuja nu guru, apisonanuja nusanro (karena jujur engkau menjadi pemerintah, karena tegas engkau menjadi adat, karena sabar engkau menjadi "guru", karena "kepasrahan" engkau menjadi "dukun").

Karena nilai-nilai itulah, sebagai pemimpin, Ammatoa dan kabinetnya benar-benar harus mampu menjadi panutan masyarakat jika tidak ingin kualat terhadap Pasang.
"Yang ada dalam pikiran Ammatoa adalah bagaimana memakmurkan rakyatnya. Jika semua orang sudah berkecukupan, maka dia yang terakhir berkecukupan. Tapi kalau orang semua miskin, dialah yang pertama menjadi miskin," jelas Puto Palasa dengan rendah hati. Ucapan itu pun dibuktikannya. Ammatoa rela meninggalkan segala bentuk keduniawian, meski pernah menjadi salah satu petani sukses yang memiliki berhektar-hektar sawah.

Walau dari waktu ke waktu perubahan zaman terus bergulir, warga suku Kajang tetap bertahan dalam kearifannya. Bukan karena keperkasaan, melainkan harmonisasinya dengan alam dan sesama manusia.

Dimuat di: Majalah INTISARI September 2005


Catatan Saya:
Satu hal yang tidak saya tulis tentang Kajang adalah kekuatan magis yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat suku ini. Sekadar tidak suka saja. Selain karena saya takut, tulisan saya nantinya hanya akan penuh dengan sensasi belaka. Tapi saya sempat tergelak-gelak, setelah diberitahu bahwa pemakai jasa dukun setempat (yang terkenal ampuh itu) ternyata bukan cuma warga sekitar. Seseorang yang saya tahu cukup intelektual, modern, pernah datang jauh-jauh ke Kajang hanya untuk meminta jimat dalam rangka pengangkatannya menjadi direktur di sebuah perusahaan milik negara. Ah, kurang pede ya Pak!

FROM:
http://tjahjowidyasmoro.blogspot.com/2008/05/kajangbadui-dari-sulawesi.html