Rabu, 21 Januari 2009

BADUI SULAWESI

KAJANG, BADUI SULAWESI

osok mereka akan mengingatkan kita pada keberadaan masyarakat Badui di Banten. Pakaian serba hitam, kaum lelaki berikat kepala, tak berkendaraan ke manapun hendak pergi, serta lingkungan tempat tinggal yang terisolasi dari dunia modern. Di balik segala "keganjilan" itu, masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan menyimpan kearifan menyangkut hubungannya dengan alam dan sesama manusia.

Sebuah rumah kayu beratap rumbia, dengan papan bertuliskan: "Selamat Datang Kawasan Adat Ammatoa", benar-benar melegakan hati saya. Bagaimana tidak. Dua jam saya harus berputar-putar di wilayah Kecamatan Kajang dengan mobil angkot tua carteran, hanya untuk menemukan tulisan itu. Apalagi sesekali jantung ini harus terpompa cepat saat mobil menelusuri jalan-jalan perbukitan yang curam dan basah oleh air hujan.

Rumah yang juga merupakan pintu gerbang menuju kawasan adat itu sekaligus menjadi simbol pembatas dua komunitas suku Kajang, kita sebut saja Kajang "luar" dan "dalam". Ciri masyarakat Kajang dalam, dapat segera dikenali dari pakaian serba hitam, yang beberapa di antaranya sudah mulai terlihat di sepanjang perjalanan saya menuju Tana Toa ini. Dari sorot matanya, tampak mereka menerima kedatangan orang luar seperti saya dalam keramahan, meski tak terucap sepatah katapun.

Meski seperti mengisolasi diri, warga suku Kajang sudah terbiasa menerima dan berinteraksi dengan orang luar. Hal ini segera bisa diketahui dari buku tamu di rumah Abdul Salam Nur, kepala Desa Tana Toa. Sejumlah peneliti Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, wartawan, rombongan pelajar SMP-SMU, atau turis-turis perorangan dari Prancis, Amerika, dan Jepang. Semua tercatat lengkap, selain menjadi semacam tanda bukti penyampaian "ucapan terima kasih" karena telah dibolehkan masuk ke kawasan cagar budaya itu.

Ah, Kajang Tana Toa sudah menjadi tempat wisata rupanya. Apakah sudah menjadi komersial? Pertanyaan itu benar-benar mengusik hati saya.

Doa untuk anak cucu
Suku Kajang menyebut tanah tempat mereka berdiam sebagai Tana Toa, "tanah tertua". Dalam kepercayaan mereka, tanah ini memang telah tua umurnya dan pernah menjadi tempat satu-satunya berpijak saat Bumi masih berupa lautan luas. Di tanah ini pula muncul sepasang manusia pertama ciptaan Tu Rie' A'ra 'Na (Yang Maha Kuasa) yang disebut Amma (bapak) dan Angrota (ibu). Mirip kisah Adam dan Hawa dalam ajaran agama samawi, pasangan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal seluruh umat manusia saat ini.

Bagi orang luar Kajang, mungkin kepercayaan itu terasa menggelikan. Namun, sebenarnya mitos tentang manusia pertama berkembang juga di daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, yang disebut Tumanurung. Manusia yang dikisahkan turun dari langit itu menurunkan raja-raja Bugis.

Namun, Anda jangan bingung dengan Desa Tana Toa, yang secara kewilayahan masuk Kabupaten Bulukumba. "Tana Toa" merupakan bagian dari desa seluas 19,50 km2 dan dihuni sekitar 700 kepala keluarga ini. Desa Tana Toa terdiri atas tujuh dusun, lima di antaranya merupakan kawasan adat. Salah satunya Dusun Benteng, tempat tinggal Ammatoa, pemimpin adat suku Kajang.

Kehidupan di Dusun Benteng bisa dianggap mewakili keberadaan Suku Kajang umumnya. Begitu kita melangkah ke dalam, nuansa keaslian masa silam langsung terasa. Nyaris tidak ada sentuhan modern sama sekali. Rumah penduduk dibangun mirip bola, atau rumah tradisional Bugis atau Makassar. Bedanya, di Kajang semua dibangun menghadap Gunung Lompobatang di sebelah barat sesuai kepercayaan Patuntung yang dianut masyarakat setempat.

Rumah-rumah panggung berbahan utama kayu bitih itu mempunyai ciri khas yang segera dapat dikenali, yakni penyangganya yang berupa 16 tiang dan tertanam langsung ke tanah. Maksudnya agar setiap orang selalu bersatu dengan 'ibu' mereka, yaitu tanah di Bumi," terang Thamrin Tawang, penduduk setempat yang menemani saya menjelajah tanah tua itu.

Warga suku Kajang seluruhnya bertani, menanam padi dan jagung. Hasil panen semua dikonsumsi sendiri. Jika ada kelebihan, baru dijual. Seolah tak ingin membuang waktu, Thamrin langsung mengajak kami menemui Puto Palasa, Ammatoa Kajang saat ini. Rumahnya ternyata hanya berjarak sekitar 300 m dari pintu gerbang Dusun Benteng. Beruntung, saat itu Ammatoa bersedia menerima saya, karena konon tak semua tamu bisa diterima. Sebagai pemimpin adat sekaligus wakil Tu Rie' A'ra 'Na di Bumi, kesibukan utama Ammatoa adalah berdoa untuk keselamatan cucu-cucunya di seluruh muka Bumi.

Poster Leony di dinding
Wajah Puto Palasa terlihat relatif muda di usianya yang sekitar 60 tahun. Mungkin karena kendala bahasa, selama diwawancarai, Ammatoa banyak tersenyum saja. Ia juga menolak untuk dipotret dengan alasan yang cukup unik: "Nanti orang tidak akan mau bertemu saya lagi, karena kalau dia rindu, maka cukup melihat foto saja dan tidak bertemu saya," tutur Ammatoa ke-12, yang memang dikenal humoris ini.

Meski dijabat seumur hidup, Ammatoa bukanlah jabatan yang diwariskan seperti raja. Pemilihan Ammatoa dilaksanakan dalam sebuah pemilu dengan melibatkan seluruh warga yang memiliki hak pilih. Kendati dihadiri warga, Ammatoa sendiri terpilih lewat tanda-tanda gaib seperti asap dupa yang mengarah ke dirinya, ayam putih hinggap di bahunya, serta kerbau yang menghampiri kediamannya. Upacara ini bisa berlangsung berminggu-minggu dan tertutup di tengah hutan.

Melalui Thamrin yang menerjemahkan segala perkataannya, Ammatoa antara lain menyatakan cukup senang jika anak cucunya datang berkunjung. Ia tidak pernah curiga akan adanya maksud tidak baik dari tamu-tamunya yang bermaksud mengganggu ketenangan warga suku Kajang. "Kami menganggap semua orang jujur dan datang dengan niat baik," tuturnya dalam bahasa Konjo yang digunakan suku Kajang. Konon, jika ada tamu berniat tidak baik sekalipun, Ammatoa akan mengetahui melalui mata batinnya.

Dengan segala keramahan itu, rasanya tak heran jika banyak orang luar yang pernah tinggal lama di dalam wilayah adat. Tak sedikit peneliti, bahkan warga negara asing, kerasan tinggal di Kajang bertahun-tahun sampai mahir berbahasa Konjo. Orang dari suku-suku lain juga memungkinkan untuk hidup bersama warga Kajang (bahkan berkeluarga), asal bersedia mengikuti aturan-aturan setempat. Salah satunya, harus berbaju hitam setiap hari!

Berbekal izin Ammatoa, saya bisa melongok isi beberapa rumah warga. Setiap rumah rupanya berarsitektur sama, dindingnya papan kayu dipasang vertikal dan berlantaikan jalinan bambu. Uniknya, rumah yang rata-rata mempunyai luas bangunan 70 - 100 m2 ini tidak memiliki dinding penyekat antara tamu dan keluarga pemilik rumah. Rupanya, ini manifestasi falsafah keterbukaan warga Kajang, yang berprinsip "jika tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus ditutupi?" Keterbukaan ini juga bisa diartikan, isi rumah tidak didapat dari hasil tidak halal.

Ciri lain yang juga mencolok adalah keberadaan dapur di sisi kiri pintu masuk rumah. Ini dimaksudkan agar tamu bisa melihat apa yang tengah dipersiapkan untuk menjamunya tanpa harus takut dicelakai. Namun, jika dapur sudah mulai berasap, para tamu pantang untuk menampik apa pun sajian tuan rumah.

Rumah-rumah penduduk Kajang umumnya sangat sederhana, hingga akibatnya terkesan kurang memperhatikan kesehatan. Lumbung tempat menyimpan hasil panen dan alat pertanian ditempatkan di atas rumah. Di sisi dapur setiap rumah, terdapat tempat buang air kecil yang limbahnya langsung terbuang ke bawah tanpa sanitasi yang baik. Sementara di bawah rumah juga terdapat kandang ternak sapi, kuda, dan ayam.

Di dalam rumah, sama sekali tidak ada perabot modern karena memang diharamkan oleh adat mereka. Barang-barang buatan luar yang dipakai hanya sebatas piring-gelas atau botol untuk wadah minyak. Untuk membawa air dari sumur atau sungai mereka menggunakan bilah, sejenis labu sebesar bola plastik.

Jika tidak membantu di sawah, perempuan suku Kajang akan sibuk menenun tope, semacam sarung tradisional. Keahlian warisan turun-temurun ini biasanya dilakukan di bawah rumah panggung, sambil mengawasi anak-anak mereka yang bermain. Benang tenunan dibeli dari Pasar Kalimporo yang terletak 8 km dari wilayah adat. Agar berwarna hitam pekat, kain diberi tarung, pewarna alami yang diambil dari hutan.

Karena merasa sedang berada jauh dari peradaban modern, maka saya agak terperanjat menyaksikan poster artis Leony, Siti Nurhaliza, dan Christina Aguilera, tertempel di rumah keluarga Puto Laling. Bagaimana keluarga ini bisa memajangnya jika mereka tidak pernah menonton televisi? Menyadari keheranan dan pertanyaan saya, Thamrin buru-buru menjelaskan bahwa anak perempuan keluarga itu yang berusia belasan sekadar menempel poster itu saja tanpa tahu wajah siapa itu. "Pokoknya, asal kelihatan cantik, ya dipasang saja."

Ya, ya. Saya mengerti kok.

Tanah, sang ibu
Sesuatu yang dimaknai orang luar sebagai "keterbelakangan" suku Kajang, sesungguhnya bukan tidak disadari warga suku itu. Namun, mereka bergeming dalam situasi itu semata-mata karena telah lama terikat dengan Pasang Ri Kajang, atau nilai-nilai tertinggi dalam kehidupan yang bersumber dari Yang Maha Kuasa.

Ajaran Pasang yang tidak disebut sebagai agama ini mengejawantah dalam Kamase-mase yang menjadi landasan fisik warga suku Kajang selama hidup di dunia. Orang Kajang sendiri adalah pemeluk Islam Patuntung, suatu sinkretisme Islam dengan kepercayaan Patuntung atau pengejawantahan nilai Pasang melalui aspek rohani. Segala pola pikir dan tindak tanduk warga Kajang tak akan pernah lepas dari dua ajaran warisan nenek moyang itu.

Dengan Kamase-mase itu pula warga suku Kajang hidup dalam harmonisasinya dengan alam. Misalnya, keberadaan hutan di sekitar Tana Toa tetap lestari karena mereka meyakini tanah adalah angrota atau "sang ibu", yang telah melahirkan mereka. Sebuah sikap yang secara tidak langsung telah menjaga lingkungan mereka dari kerusakan sumber air dan ekosistem. Sikap ini juga terlihat saat mereka menggarap sawah dan ladang yang dilakukan tanpa merusak tanahnya. Melipatgandakan panen dengan jalan menanam lebih dari sekali dalam setahun tidak dilarang. Namun, penggunaan pupuk dan pestisida tidak diperbolehkan.

Dalam sistem pemerintahan, kamase-mase juga memberi tuntunan tentang kearifan seorang pemimpin. Dalam buku Potret Manusia Kajang terbitan Pustaka Refleksi (2003) tertulis antara lain Lambusu 'nuji nukaraeng, gattannuja nuada', sa' barunuja nu guru, apisonanuja nusanro (karena jujur engkau menjadi pemerintah, karena tegas engkau menjadi adat, karena sabar engkau menjadi "guru", karena "kepasrahan" engkau menjadi "dukun").

Karena nilai-nilai itulah, sebagai pemimpin, Ammatoa dan kabinetnya benar-benar harus mampu menjadi panutan masyarakat jika tidak ingin kualat terhadap Pasang.
"Yang ada dalam pikiran Ammatoa adalah bagaimana memakmurkan rakyatnya. Jika semua orang sudah berkecukupan, maka dia yang terakhir berkecukupan. Tapi kalau orang semua miskin, dialah yang pertama menjadi miskin," jelas Puto Palasa dengan rendah hati. Ucapan itu pun dibuktikannya. Ammatoa rela meninggalkan segala bentuk keduniawian, meski pernah menjadi salah satu petani sukses yang memiliki berhektar-hektar sawah.

Walau dari waktu ke waktu perubahan zaman terus bergulir, warga suku Kajang tetap bertahan dalam kearifannya. Bukan karena keperkasaan, melainkan harmonisasinya dengan alam dan sesama manusia.

Dimuat di: Majalah INTISARI September 2005


Catatan Saya:
Satu hal yang tidak saya tulis tentang Kajang adalah kekuatan magis yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat suku ini. Sekadar tidak suka saja. Selain karena saya takut, tulisan saya nantinya hanya akan penuh dengan sensasi belaka. Tapi saya sempat tergelak-gelak, setelah diberitahu bahwa pemakai jasa dukun setempat (yang terkenal ampuh itu) ternyata bukan cuma warga sekitar. Seseorang yang saya tahu cukup intelektual, modern, pernah datang jauh-jauh ke Kajang hanya untuk meminta jimat dalam rangka pengangkatannya menjadi direktur di sebuah perusahaan milik negara. Ah, kurang pede ya Pak!

FROM:
http://tjahjowidyasmoro.blogspot.com/2008/05/kajangbadui-dari-sulawesi.html

Tidak ada komentar: