Selasa, 20 Januari 2009

Appatinro Bine

Appatinro Bine: Kami Jaga Sendiri Alam Kami

Banyak cara yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan untuk menghargai lingkungan. Salah satunya adalah Appatinro Bine, upacara ritual yang dimaksudkan untuk memberi penghargaan terhadap tanaman, khususnya padi. Appartinro bine dilakukan hampir di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, termasuk di Bulukumba, Kajang, Ara, Gangking (Gantarang Kindang ) dan Kindang. Bagi masyarakat di wilayah tersebut acara Appatinro Bine telah menjadi ritual rutin tahunan ketika akan mulai menanam padi. Menurut Puang Massewali, salah seorang tokoh masyarakat di kampung Campaga, desa Kindang, Kabupaten Bulukumba, Appatinro Bine biasanya dilakukan dengan pesta besar-besaran. Penduduk berdatangan dari berbagai daerah. Biasanya acara dimulai dengan mengumpulkan berbagai bahan seperti, daun sirih, tebu, pisang, ubi kayu, nasi ketan dan ayam, kadang juga dilengkapi dengan lampu dari kemiri. Setelah itu bibit padi diletakkan di tengah rumah dengan bahan-bahan yang sudah dikumpulkan.

Lampu kemiri kemudian dipasang di sekeliling bibit padi. Acara ritual dimulai dengan doa yang dipimpin oleh salah seorang sesepuh masyarakat, dilanjutkan dengan disemburkannya (apporasa) beras kearah bibit padi oleh sekolompok perempuan yang hadir. Setelah itu dibacakan kisah Meong Palo Karallae (kisah tentang kucing tiga warna yang biasanya menyertai Dwi Sri/Dewi Padi) dalam dua bahasa Bugis dan Konjo. Acara ini kemudian ditutup dengan Kelong Osong (nyanyian untuk tanaman), yang salah satu baitnya berbunyi : “Rumpu rahu Ripossi Bolae. Palliburiki tagari kua ri Possi Bolae” [Maksudnya: Tanaman (bibit padi) di pusat rumah dikelilingi tanaman lain di pusat rumah].

Menurut salah seorang anggota komunitas kampung Campaga, Puang Seling, acara ini dimaksudkan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, di samping bentuk penghargaan terhadap alam lingkungan (dalam hal ini padi). “Sebab sesungguhnya tumbuh-tumbuhan adalah makhluk hidup seperti kita. Dalam wujudnya semula padi itu adalah manusia seperti kita juga. Karena itu kalau tidak dihargai tanaman itu akan meninggalkan kita,” ujar Puang Seling.

Sayangnya tradisi ini sejak tahun 1962 mulai dikikis, khususnya oleh DI/TII. Orang-orang DI/TII menganggap apa yang dilakukan oleh masyarakat adalah perbuatan khurafat dan musyrik, karenanya harus diperangi. Warga masyarakat dikejar-kejar oleh DI/TII, mereka dipaksa meninggalkan tradisi tersebut. Namun kekerasan DI/TII ini tak menyurutkan niat masyarakat untuk mengadakan kegiatan mereka. Meski mulai berkurang, tapi masih ada sejumlah kalangan yang tetap mempertahankan tradisi Appatinro Bine. Sampai tahun1980-an acara-acara kecil-kecilan Appatinro Bine masih banyak ditemukan.

Sekitar tahun 1980-1995, Departeman Agama melalui dai-dai dan guru mulai masuk melakukan berbagai macam pembinaan, yang intinya juga hendak menghentikan upacara ini. Mereka menyebut acara semacam Appatinro Bine sebagai bentuk kebodohan, kemunduran dan bahkan bisa menjebak orang pada perbuatan syirik. Seiring dengan itu pihak pemerintah juga mulai memperkenalkan cara-cara pengelolaan pertanian secara modern, mulai dari bibit, pupuk dan juga alat-alat pertanian semacam traktor dan alat pemangkas mesin padi. Sejak itu tradisi-tradisi semacam appatinro bine, Anrara Paenre, Kelong pare dan yang lainnya mulai tersisih. Sebab semua itu dianggap kemunduran, bahkan kemusyrikan.

Sekalipun demikian sejumlah masyarakat masih bertahan. Mereka tetap melakukan upacara secara diam-diam di rumah masing-masing. Bagi mereka apa yang dilakukan itu adalah bentuk kecintaan mereka terhadap makhluk Tuhan. Mengapa harus disalahkan? “Dulu ketika hal ini masih lazim dilakukan, tanaman padi kami meskipun hanya sekali setahun panen, dapat mencukupi kehidupan kami. Tetapi sekarang, sekalipun mengalami dua kali masa panen namun tidak mencukupi kebutuhan. Hal ini karena penghargaan kita terhadap tanaman saat ini sudah tidak ada. Tanaman betul-betul sudah diperlakukan seperti benda mati,” ujar Puang Seling.

Kini mereka tidak menemukan lagi keharmonisan hidup bersama alam. Ligkungan sudah dieksploitasi habis oleh teknologi modern pertanian. Sebagai pelipur lara, sesekali saja mereka melantunkan Akkelong pare (Nyanyian padi) seperti Kelong Sape, yang dulu sering mereka nyanyikan ketika memotong padi dengan nada mendayu-dayu:

Bulaeng pale parea

Intang pale tukkattoa

Pare Baji Ni lamung

Ia baji nipatimbo

Makkio bija mappasse’re pammanakkang

(Emaslah padi itu, intan yang memetiknya, padi bagus ditanam, bagus pula ditumbuhkan, mendatangkan keluarga mengumpulkan sanak famili). Desantara

from:
http://desantara.org/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=152&Itemid=131

Tidak ada komentar: