Selasa, 20 Januari 2009

Amatoa yang Hilang

17.09.01 01:45
Kesederhanaan Kajang dan Amatoa yang Hilang

Liputan6.com, Bulukumba: Tak ada yang lebih menyedihkan ketimbang sebuah tragedi kematian. Itulah sebabnya, ketika amatoa alias pemimpin Suku Kajang di Tanatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, meninggal dunia, duka pun segera menyergap seluruh penduduk. Rasa sedih mendalam yang menyelimuti orang Kajang ini bisa dimaklumi. Soalnya, selain menganggap sebagai pemimpin, mereka juga menempatkan amatoa sebagai orang suci yang mengabdikan diri untuk menjaga kemurnian Tanatoa.

Kini, sudah lebih 100 hari berselang amatoa berpulang. Warga Tanatoa pun memanjatkan doa kepada Turek Arakma, agar secepatnya memberikan pengganti amatoa yang baru. Masyarakat Kajang meyakini, amatoa hidup sebagai pertapa, mengisolasi diri, dan hanya muncul pada kesempatan tertentu atas keinginan sendiri. Bahkan, setiap kemunculan amatoa juga dianggap sebagai sebuah peristiwa besar.

Adat Kajang percaya, suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Arakma atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung kwajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa.

Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai amatoa yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian. Bahkan, nama burung kajang menjelma menjadi nama komunitas mereka. Komunitas yang menjaga kemurnian dirinya sebagai manusia dengan cara hidup yang penuh kebersahajaan.

Mengunjungi wilayah Tanatoa di Kabupaten Bulukumba, Sulsel, akan terasa kental kesan kebersahajaannya. Betapa tidak, siapa pun yang masuk ke desa tersebut harus mengenakan baju kain dan ikat kepala warna hitam. Memang, tata cara berpakaian itu diwajibkan, layaknya warga desa yang telah berangkat dewasa. Kesederhanaan ini memang sudah menjadi ciri khas warga Kajang.

Jika menelisik lebih dalam keseharian Suku Kajang, ternyata kesederhanaan tersebut bukan saja terlihat dari busananya. Bayangkan saja, kelompok tersebut tak memiliki benda-benda produk budaya modern di kediamannya masing-masing. Bahkan, segala keperluan hidup mereka penuhi dari upaya sendiri. Misalnya, para wanita terbiasa mengolah dan memasak makanan sendiri. Tak hanya itu, kaum hawa Suku Kajang menenun kain untuk memenuhi keperluan sandangnya. Sementara para lelaki berternak, berladang, dan menjalankan fungsi sosial di kampung mereka.

Seiring perjalanan waktu, Suku Kajang ternyata telah mempertahankan tradisi turun temurun itu selama ratusan tahun. Buktinya, tatkala dunia di sekitarnya berubah drastis, mereka tetap hidup dalam kesahajaan. Apalagi, seluruh masyarakat Kajang meyakini bahwa mereka memang ditakdirkan menjadi benteng moral, terutama menjaga kemurnian akhlak para insani di muka bumi.

Di perkampungan mereka, Tanatoa, setiap orang tak diperkenankan saling menyakiti, bahkan terhadap binatang atau pun tumbuhan. Selain itu, mereka harus mendarmabaktikan hidupnya untuk menjaga keseimbangan alam. Kecuali milik sendiri, setiap warga sama sekali tak boleh menebangi pohon atau pun membunuh binatang liar di hutan. Bahkan, membuat galian atau sumur juga menjadi larangan, soalnya kegiatan itu berarti menyakiti ibu bumi.

Kebudayaan mereka memang begitu halus, bahkan untuk mengingatkan kesalahan di antara warga, masyarakat Kajang mempergunakan berbagai kiasan yang berbau sindiran. Simak saja, untuk menyindir kebiasaan buruk berjudi sabung ayam yang menjadi penyakit sosial di sebagian besar masyarakat Sulsel, mereka mengungkapkannya dalam sebuah tarian yang disebut Tari Pasupi. Dengan alunan gamelan bertalu-talu, tarian pun dimulai. Mengiringi tarian itu, terdengar lagu sindiran yang dilantunkan sejumlah orang dalam bahasa mereka.

Bagi orang Kajang, kesederhanaan memang telah menjadi sebuah filosofi. Keyakinan sebagai keturunan manusia pertama di muka bumi membuat mereka harus mempertahankan kemurnian hidup, menjaga bumi, dan menata moralitas sosial. Kendati tak memiliki aturan tertulis, pedoman hidup mereka telah tertata dan mengakar. Kalau pun ada persengketaan yang tak terpecahkan, mereka memohon kepada amatoa untuk memecahkan masalahnya, kendati suasana duka masih begitu kental, setelah amatoa meninggal dunia.(ANS/Tim Potret)

Tidak ada komentar: