Selasa, 20 Januari 2009

Ritual Panganro

Ritual Panganro Suku Kajang Dalam
Rabu, 30-01-2008

PANGANRO adalah ritual memanjatkan doa bersama yang dilakukan seluruh masyarakat Suku Kajang Dalam, Kabupaten Bulukumba, untuk memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa. Pelaksanaan ritual ini tidak memiliki waktu pasti. Ritual ini dilaksanakan jika Amma Towa menganggap perlu memohon keselamatan dan terhindar dari bahaya.

Ritual ini bisa juga dilaksanakan bila ada warga setempat yang ingin melepas nazar karena terhindar dari suatu bahaya. Tetapi, pelaksanaannya tetap atas izin Amma Towa. Waktu pelaksanaannya pun ditentukan Amma Towa.
Menjelang prosesi pemilihan Amma Towa, jika Amma Towa sebelumnya telah mangkat, ritual ini terlebih dulu dilaksanakan. Tujuannya, untuk memohon petunjuk Yang Kuasa dan meminta dijauhkan dari segala bahaya dan bencana.
Ritual Panganro yang kami saksikan, Selasa (22/1) malam lalu itu adalah ritual melepas nazar tiga orang warga suku ini yang masih berhubungan saudara, karena terlepas dari bahaya. Lokasi prosesi ritual dilaksanakan di depan rumah salah satu warga yang bernazar ini, yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah Amma Towa.
Informasi yang saya dapatkan, ketiga warga yang tidak disebutkan
namanya itu, melakukan ritual ini karena telah terlepas dari bahaya pada tragedi Lonsum berdarah 23 Juli 2003 lalu, yang menimbulkan korban tewas dua orang dan puluhan luka-luka. Sejumlah warga dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Sebab, sejak peristiwa itu hingga sekarang mereka tidak pernah kembali
ke rumah.

Saat peristiwa itu, ketiga warga yang melakukan hajatan ini, dikabarkan sempat menghadapi situasi berbahaya. Mereka pun bernazar akan melaksanakan ritual ini, jika dapat terlepas dari bahaya itu.
Persiapannya pun membutuhkan waktu sekitar tiga bulan setelah
Amma Towa telah menetapkan waktu pelaksanaan ritual. Sepekan sebelum ritual ini dilaksanakan, sudah dilaksanakan sejumlah prosesi menyambut hari H pelaksanaan ritual. Rumah warga yang akan menggelar ritual ini pun mulai ramai dikunjungi warga.
Di depan rumah warga yang melakukan hajatan, dibangun sebuah pondokan bambu yang cukup luas. Berukuran sekitar 15 x 10 meter dengan tinggi atap tiga meter dari tanah dan dua meter dari lantai pondokan yang dibuat dari bambu.
Di pondokan inilah ritual memanjatkan doa-doa dilaksanakan oleh para pemangku adat dan empunya hajatan dipimpin oleh Amma Towa.
Sementara saya bersama 10 wartawan dan aktivis LSM berbaur dengan warga suku Kajang Dalam duduk bersila ditikar pandan yang digelar di depan pondokan.
Sayangnya, kami tidak diperkenankan mendekat untuk melihat
ritual berdoa yang sedang berlangsung di pondokan itu. Kehadiran kami dilokasi ritual melahirkan tatapan tajam dari warga suku ini. Meski begitu, mereka tetap ramah menyambut kami. Khususnya, dari pihak keluarga yang melakukan hajatan. Satu persatu, seluruh keluarga dari penyelenggara hajatan menghampiri kami dan menyodorkan sebuah bakul yang
terbuat dari pandan berukuran satu liter. Bakul itu berisi kapur, daun sirih dan beberapa benda lainnya yang saya tidak tahu namanya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut orang-orang itu saat menyodorkan bakul.
Kami hanya melihat yang dilakukan warga saat disodorkan bakul serupa, untuk mengetahui apa yang harus kami lakukan. Kami kemudian menyentuh bakul itu dengan posisi kedua tangan seperti berdoa. Setelah itu, kami memanjatkan doa dalam hati. Setelah selesai, tangan disentuhkan ke dada, dahi kemudian
mengusap wajah tanda doa telah selesai. Ritual ini merupakan ucapan selamat datang dari pemilik hajatan kepada tamu-tamu yang datang.
Dengan disodorkan bakul ini berarti kami diterima untuk mengikuti ritual Panganro yang mereka selenggarakan.
Beberapa warga lainnya bertugas membawakan ballo inru (tuak dari sari pohon aren) kepada kami dan warga lainnya. Ballo ini ditempatkan di tempurung kelapa yang merupakan gelas khas warga setempat.
Tidak banyak ballo yang disajikan ke kami. Namun, bagi saya sudah cukup untuk membuat kepala puyeng. Meneguk ballo ini pun cukup membuat badan hangat setelah beberapa jam menahan dingin.
Sekitar pukul 24.00 wita, saat prosesi doa bersama hampir selesai
dilaksanakan, langit yang semula cerah dan bulan yang sudah bulat penuh, tiba-tiba tertutup awan gelap. Di sebelah barat, tampak cahaya kilat.
Entah, apa peristiwa alam itu kebetulan terjadi atau memiliki hubungan dengan ritual yang sedang dilaksanakan salah satu komunitas adat yang ada di Indonesia ini.
Usai Amma Towa bersama pemangku adat Suku Kajang Dalam melaksanakan doa bersama, para wanita suku ini, yang berbaju bodo hitam dan sutera hitam, menyajikan makanan. Setiap orang mendapat satu bakul nasi ukuran lima liter dan semangkuk daging kerbau dimasak air yang ditempatkandi tempurung kelapa. Sambil berbisik, saya dan beberapa rekan sempat bercanda, nasi
yang bisa dimakan empat sampai lima orang itu harus dihabiskan sendiri. Kalau tidak, akan tertimpa sesuatu. Kami tentu tidak mempercayainya.
Untuk air minum ditempatkan di dalam buah bila yang isinya telah dikeluarkan kemudian dikeringkan. Buah bila seukuran bola kaki ini merupakan jeriken Suku Kajang Dalam. Kami pun meminum air putih melalui lubang kecil yang ada di buah bila. Sebuah jeriken alam berisi air minum ini untuk dikonsumsi tujuh sampai 10 orang.
Sekitar pukul 01.00 wita, prosesi ritual Panganro telah selesai. Sambil beriringan, kami kembali ke rumah Amma Towa untuk berisitirahat. Di rumah ini kami diberitahu bahwa besok pagi, ritual akan kembali dilanjutkan.
Namun lokasinya di dalam hutan yang oleh warga setempat sangat dikeramatkan. Dan kami tidak diizinkan untuk ikut masuk ke hutanmenyaksikan ritual lanjutan yang dianggap sebagai puncak ritual Panganro ini. Tidak ada yang dapat memberi keterangan ritual apa yang akan dilakukan di dalam hutan. Sebab, hanya beberapa orang saja dari suku ini yang pernah masuk ke dalam hutan untuk menyaksikan ritual ini.



http://www.tribun-timur.com/view.php?id=61891

Tidak ada komentar: