Selasa, 20 Januari 2009

Jejak Kegemilangan Tana Toa

18.02.06 17:00
Jejak Kegemilangan Nenek Moyang di Tana Toa
Liputan6.com, Bulukumba: Bila nama suku Kajang disebut, masyarakat Sulawesi Selatan boleh jadi menunjuk ke sebuah desa yang terletak di Kabupaten Bulukumba. Ini memang wajar, soalnya suku tersebut memiliki daya tarik tersendiri. Sebagai suku yang cukup terpencil, hingga kini masyarakat adat Kajang masih memelihara nilai tradisional dengan menjaga kesakralan tokoh ammatoa atau pemangku adat.

Desa Tana Toa, sepintas memang tak berbeda dengan kampung lain di Bumi Celebes. Di sana, aktivitas diawali dari sebuah mata air. Memang, nyaris tiada lagi pertanda yang menggambarkan warga tujuh dusun di Desa Tana Toa atau lebih dikenal sebagai suku Kajang adalah leluhur raja-raja Sulawesi Selatan.

Dongeng di Tanah Kajang mengisahkan, dahulu kala langit dan bumi menyatu berbentuk sebuah pattapi atau tetampah. Syahdan, ketika mula taunna atau manusia pertama muncul, langit dan bumi terpisah. Peristiwa tersebut mengilhami penamaan Kajang yang berarti memisahkan. Orang Kajang percaya, mula taunna muncul di situs Possi Tana di Desa Matoangin, sekitar sepuluh kilometer dari kawasan adat Tana Toa. Dan beberapa bukti artefak dan batu andesit menunjukkan, kawasan ini pernah menjadi sentral berbagai upacara adat.

Suku Kajang mendiami Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, sekitar 250 kilometer dari Kota Makassar, Sulsel. Berdasarkan lokasi permukiman mereka, masyarakat suku Kajang terbagi dalam dua kelompok, yakni Kajang Luar dan Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam mendiami tujuh dusun di Desa Tana Toa. Adapun pusat kegiatan komunitas suku Kajang berada di Dusun Benteng, yang ditandai dengan kehadiran rumah ammatoa, sang pemimpin adat.

Orang Kajang meyakini, ammatoa merupakan orang yang dipilih Turie A`ra`na atau Yang Maha Kuasa. Atau sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sesuai pandangan panuntung, sehingga mereka pun benar-benar menjaga kesucian tokoh tersebut. Dan tak seorang pun diperkenankan memiliki rekaman wajahnya.

Dahulu, masyarakat Kajang disebut-sebut beragama panuntung atau tuntutan. Seiring perubahan zaman, mereka mengaku memeluk agama Islam. Hanya dalam praktiknya, mereka mengiblatkan diri pada Passang Ri Kajang atau pesan-pesan suku Kajang sebagai payung kehidupan. Pandangan panuntung ini mengharuskan orang Kajang hidup prihatin dan apa adanya atau kemase-masae.

Suku Kajang identik dengan pakaian hitam sebagai simbol kesederhanaan dan peringatan akan adanya kematian atau sisi gelap. Namun saat ini hanya ammatoa dan para pemuka adat yang tetap berpakaian hitam dan menjauhi pengaruh hidup modern. Adapun anggota suku Kajang lainnya hanya mengenakan pakaian hitam saat upacara adat atau menghadap ammatoa.

Kepatuhan terhadap ajaran kemase-masae itu bukan cuma ditunjukkan dengan pakaian, tapi juga kehidupan malam yang menghindarkan lampu-lampu bercahaya terang. Dan di luar kekayaan adat yang sengaja terus dipelihara, suku Kajang memiliki catatan prasejarah yang menakjubkan. Penelitian arkeologis dari berbagai perguruan tinggi ke kawasan ini memberikan suatu bukti adanya peradaban kuno.

Adalah Yadi Mulyadi dan Aspriyanto yang meneliti peninggalan masa lampau di Tanah Toa. Kini, dua arkeolog dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, itu kembali menelusuri hasil penelitian mereka. Kali ini dua peneliti muda di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Unhas, tersebut ditemani Muhammad Abbas Nur, seorang warga suku Kajang.

Sesampai di gerbang kawasan adat Tana Toa, rombongan peneliti harus melanjutkan dengan jalan kaki untuk menuju Dusun Benteng. Maklum, kendaraan dilarang memasuki kawasan adat. Di sepanjang jalan terdapat rumah adat atau bolah yang seluruhnya menghadap ke arah barat. Arsitektur rumah pun sama, yakni terdiri atas para atau bagian atas, kale bola atau bagian tengah, dan siring atau bagian bawah.

Penduduk setempat menggantungkan kebutuhan airnya pada mata air atau sumur. Satu mata air diperuntukkan bagi seluruh warga dusun. Sumur Tunikeke, misalnya, yang menjadi tempat mencuci, mandi, dan minum bagi ratusan orang Dusun Benteng.

Sebelum menelusuri situs-situs di dalam lingkungan Dusun Benteng, dua arkeolog itu mendatangi rumah ammatoa. Kunjungan ini bertujuan meminta restu atas kegiatan penelitian. Bagi suku Kajang, ammatoa memiliki peran sentral untuk semua kehidupan. Ia merupakan pemimpin agama, adat, hakim, sekaligus dokter. Ammatoa tak memiliki kegiatan lain, selain menemani dan membantu memutuskan berbagai persoalan di komunitasnya. Jadi bisa dibayangkan bila sang ammatoa tiada, maka dukacita pasti menyelimuti seluruh masyarakat adat Kajang, seperti yang terjadi beberapa tahun silam [baca: Kesederhanaan Kajang dan Amatoa yang Hilang].

Dari rumah ammatoa, rombongan peneliti menuju sebuah pemakaman warga suku Kajang. Kompleks kuburan merupakan bukti kuno yang lebih terjaga keasliannya dibandingkan rumah atau simbol-simbol adat lainnya. Buat mendapatkan bukti peradaban di masa lampau, biasanya, para arkeolog mengawalinya dari lokasi semacam itu.

Di lokasi pemakaman lain, terdapat sebuah kuburan seorang ksatria. Makam ini tidak terurus, namun Yadi Mulyadi dan Aspriyanto menemukan identitasnya. Menurut mereka, kuburan berukuran besar tersebut menunjukkan mendiang adalah orang berpengaruh di masyarakat. Bukti lainnya, jenis batuan yang dijadikan pusara bukan berasal dari lokasi setempat, melainkan dari daerah lain. Warna putih dan hitam pada makam itu juga membuktikan bahwa masyarakat Kajang saat itu telah mengenal teknologi pewarnaan batu.

Memang, menelusuri jejak-jejak arkeologis di kawasan adat Tana Toa, seakan memasuki kehidupan masa lampau sekaligus zaman sekarang. Di satu sisi, situs-situs yang hanya dijaga warga memberi gambaran suku Kajang tempo dulu. Namun, berbagai kegiatan warganya menunjukkan potret kehidupan sebaliknya. Di siang hari, kaum Adam di kawasan ini pergi ke sawah atau ladang. Sementara, kaum Hawa menenun kain di bagian siring rumah masing-masing.

Hasil tenun penduduk Kajang bukan hanya memenuhi kebutuhan warga setempat, tapi juga dijual ke pendatang atau pelancong. Sedangkan mata pencaharian utama masyarakat Kajang adalah bertani dan berkebun. Ketika musim tanam tiba, mereka berbondong-bondong ke sawah yang jaraknya cuma beberapa kilometer dari rumah. Biasanya, mereka memanfaatkan kuda sebagai kendaraan ke sawah atau ladang dan kerbau sebagai hewan pembajak. Orang Kajang yang tidak mempunyai sawah atau ladang biasanya bekerja pada pemilik sawah.

Benda-banda peninggalan arkelogis suku Kajang bukan hanya berada di lingkungan Desa Tana Toa. Di Dusun Lembang Lohe, misalnya. Di kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Desa Tana Toa itu terdapat makam Tonteng Daeng Mattarang, seorang bangsawan suku Kajang di zamannya.

Beragam kekayaan masa lampau di Tanah Kajang itulah yang membuat orang Kajang percaya bahwa mereka bukan hanya memiliki sejarah peradaban nan panjang. Nenek moyang mereka sekaligus leluhur raja-raja di Sulawesi Selatan.

Terlepas dari temuan arkeologis, kini seluruh anggota suku Kajang benar-benar telah memasuki kehidupan modern. Tengok saja kegiatan ekonomi di pasar tradisional. Ini menunjukkan mereka bukanlah suku yang terasing atau terpencil. Buktinya, orang Kajang Dalam juga bertransaksi jual beli seperti warga Kajang Luar. Dan di pasar itulah, semua barang-barang dari kota seperti video cakram padat (VCD) dengan mudah didapat.

Walau begitu, keistimewaan warga Kajang Dalam tetap terjaga dengan mempertahankan identitas pakaian hitamnya di antara orang Kajang Luar. Bahkan, masyarakat Kajang Dalam yang sedang berduka tetap tampil dengan kain menutupi tubuhnya dari kepala hingga badan. Mereka seolah berada di dalam komunitasnya.

Satu-satunya sisi buram atas pengabaian prinsip kemase-masea atau prihatin dan apa adanya adalah meningkatnya pola pikir komersial. Di Dusun Benteng, kini pengunjung bisa mendapatkan hiburan berupa teater rakyat pabitte passapu asalkan mengeluarkan sejumlah uang. Padahal dahulu, kesenian ini merupakan bagian dari kegiatan spiritual yang di dalamnya masih mengandung unsur gaib.

Berbagai ritual adat seperti upacara kalomba juga memperlihatkan sisi keterbalikan atas prinsip kemase-masea. Contohnya, upacara pelepasan masa asuh dari dukun persalinan kepada keluarga Hatto di Dusun Sobbu. Kegiatan tersebut menelan dana hingga Rp 50 juta. Tak mengherankan, bila keluarga Hatto harus mempersiapkannya selama berbulan-bulan. Dan di penghujung acara, kerabat keluarga Hatto memberikan kado kepada anak yang di-kalomba dengan sejumlah uang bernilai jutaan rupiah. Inilah wujud peradaban suku Kajang masa kini.(ANS/Syaiful H. Yusuf dan Teguh Prihantoro)

http://www.liputan6.com/mobile/?c_id=8&id=117906



Tidak ada komentar: