Selasa, 20 Januari 2009

Kajang Bulukumba

Sunday, January 6th, 2008

Suku Kajang adalah sub etnis dari suku Bugis yang masih murni. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Bugis dialek Konjo.
Masyakat Adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Towa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Tuli, Timur berbatasan dengan Limba, sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa dan sebelah Barat berbatasan dengan Doro.
Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa diwilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe.

AGAMA
Masyarakat Kajang seluruhnya beragama Islam tetapi mereka tidak melaksanakan ajaran agama tersebut seperti penganut agama Islam pada umumnya. Mereka tidak melakukan Sholat 5 waktu. Sholat hanya dilakukan di bulan Ramadhan. Selain itu mereka juga tidak melakukan ibadah Haji.
Suku Kajang dipimpin oleh kepala suku yang disebut Amma Toa. Perkembangan manusia diyakini bermula dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung yang “turun” di hutan Tombolo [Tana Toa]. Dunia kemudian menyebar luas dari sana.
Saat ini Amatoa dipilih melalui acara adat yang dilakukan di dalam hutan. Pada acara inti ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa calon Amatoa adalah orang tepat. Hal ini dilakukan karena orang Kajang percaya bahwa Amatoa tidak dipilih oleh manusia. Seorang Amatoa harus keturunan Tukintara yang artinya keturunan asli Kajang. Selain itu Amatoa juga harus pintar karena dia bertanggung-jawab membuat aturan dan menjalankan adat dan istiadat yang sudah ada turun menurun.

CARA HIDUP
Suku Kajang Dalam hidup tradisional dan menutup diri dari pengaruh modern termasuk listrik dan peralatan-peralatan modern lainnya. Mereka juga menenun sendiri kain sarung yang mereka gunakan sebagai pakaian. Walaupun benang yang digunakan mereka beli di luar desa, proses pewarnaan dan penenunan dilakukan oleh perempuan Kajang sendiri. Masyarakat Kajang harus memakai pakaian atau kain berwarna hitam. Pada anak perempuan mereka wajib mengenakan warna ini saat mencapai usia 20 tahun, sedangkan pada laki-laki saat berusia 30 tahun. Bila tidak mentaatinya diyakini masyarakat Kajang, yang bersangkutan akan terkena bala dan mudah terserang penyakit.
Orang Kajang hidup dengan bertani dan beternak. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan mereka sehari-hari, seperti kayu, rotan, madu dan lain-lain. Mereka adalah suku yang dikenal sangat dekat dengan hal-hal mistis. Banyak peraturan-peraturan hidup yang didasarkan pada kepercayaan-keparcayaan tersebut. Seperti larangan untuk beternak kambing dan unggas. Menurut mereka hal tersebut bisa mendatangkan petaka bagi suku mereka.
Walaupun orang Kajang tertutup pada perubahan, mereka terbuka untuk pendidikan. Ada kebijakan aturan yang memperbolehkan generasi mudanya untuk bersekolah. Walaupun mereka keluar dari desa adat, mereka dituntut untuk tetap melaksanakan hukum adat istiadat dan mematuhi aturan-aturan Kajang.

RUMAH
Rumah adat suku Kajang adalah rumah panggung dari kayu. Khusus untuk Amma Toa, rumah menggunakan bahan bambu. hal ini sebagai cerminan bahwa Amma Toa adalah orang yang hidup sederhana dan apa adanya sehingga dia tidak boleh lebih kaya dari masyarakatnya.
Rumah panggung ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu satu ruangan besar sebagai tempat berkumpul yang menjadi satu dengan dapur di bagian depan, satu ruang tidur untuk bapak dan ibu, satu ruang doa, dan satu ruang penyimpanan barang sehari-hari seperti baju dan perhiasan. [not check] bahan-bahan makanan disimpan di bangunan lain [lumbung] yang terletak di depan rumah sebelah kanan.

PASANG
Secara harafiah pasang memiliki arti pesan. Tetapi bagi masyarakat Kajang Pasang tidak hanya berhenti sebagai pesan, tetapi menjadi sebuah “wahyu” yang harus dilakukan. Pelanggaran terhadap Pasang akan langsung dikenai sanksi yang berlaku saat hidup di dunia maupun setelah meninggal. Pasang mengajarkan bahwa dunia yang diciptakan Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya. Ada pesan leluhur yang terus mereka pegang hingga saat ini, yaitu “Jangan kau tambah hutan tapi juga jangan kau kurangi”.

Merawat hutan merupakan bagian dari ajaran Pasang. Mereka percaya hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Hutan memiliki kekuatan supranatural yang tidak dapat dihadapi manusia. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya.
Dalam mengelola hutan mereka membagi dalam zona-zona tertentu. Seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan masuk sembarangan dalam kawasan itu tidak diperbolehkan sama sekali. Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, sebagai lokasi pengembalaan ternak.

Tidak ada komentar: