Selasa, 20 Januari 2009

Tanah Laksana Ibu

Tanah Laksana Ibu bagi
Suku Kajang

Copyright © Sinar Harapan 2003

Rabu, 08 Februari 2006
Oleh:
Suriani

Bulukumba – Tidak semua orang bisa menghargai dan memelihara tanahnya seperti seorang ibu yang dijaga oleh anak-anaknya. Namun di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, masih terdapat komunitas masyarakat yang berpegang teguh pada adat dan tradisi yang menganggap tanah laksana ibu yang harus dijaga dan dipelihara, karena telah memberikan segala-galanya bagi kehidupan manusia.

Itulah Suku Kajang yang berada di bawah kepemimpinan atau ketua adat yang bergelar ammatoa. Komunitas dan lokasi tempat tinggal mereka merupakan salah satu objek wisata budaya yang menarik di Sulsel dan terkenal hingga ke mancanegara.
Untuk mencapai pemukiman suku ini yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulsel, dibutuhkan waktu sekitar empat jam dengan perjalanan darat (200 kilometer lebih) dari Kota Makassar, ditambah dua jam lagi perjalanan dari ibu kota Kabupaten Bulukumba.
Masyarakat Kajang hingga saat ini masih memegang teguh adat istiadat mereka, seperti memakai pakaian yang berwarna hitam setiap hari. Pada umumnya, mereka menolak semua pemberian kecuali pakaian yang berwarna hitam.
Salah satu keunikan suku yang selalu mengenakan kain hitam seperti Suku Baduy di Jawa ini, juga menolak arus modernisasi. Mereka menolak menggunakan alat-alat modern dan yang berbau teknologi.
Masyarakat adat Kajang, secara umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat adat Kajang Dalam bermukim di tujuh dusun dalam wilayah Desa Tanatoa dan Desa Maleleng, Kecamatan Kajang. Semua dusun itu disebut juga dengan kawasan adat ammatoa. Di tempat itulah ammatoa bermukim bersama sekitar 800 keluarga yang sangat teguh memegang adat istiadat.
Untuk masuk ke kawasan adat ammatoa, semua pengunjung harus mengenakan pakaian serbahitam dan berjalan kaki tanpa alas. Kendaraan bermotor, mulai roda empat bahkan sepeda, dilarang masuk ke kawasan adat.
Mulai dari gerbang desa, jalan-jalan tanah berbatu yang ditelusuri di kawasan itu, di sisi kiri kanannya hanya tampak rumah kayu atau bambu atau kombinasi keduanya. Tidak sebuah rumah pun yang terbuat dari batu apalagi beton. Rumah-rumah yang jaraknya sangat jarang antara yang satu dengan yang lainnya, diselingi pepohonan lebat berumur tua.
Pada malam hari, kawasan adat ammatoa hanya diterangi cahaya bulan dan bintang dari sela-sela dedaunan pohon yang rimbun. Sementara di rumah-rumah masyarakat adat hanya diterangi pelita, tanpa lampu elektronik atau lampu baterai alias senter. Meski tidak ada televisi atau radio, senandung kaum ibu yang meninabobokkan anaknya menjadi satu-satunya hiburan. Kondisi ini menyebabkan kehidupan masyarakat Kajang terkesan jauh dari peradaban.
Masyarakat adat Kajang Luar dapat ditemukan di berbagai desa lainnya di wilayah Kabupaten Bulukumba, di antaranya di Kecamatan Kajang, Herlang, Bulukumpa, dan Ujung Loe.

Makna Kawasan Adat
Masyarakat adat Kajang Luar ini sudah bersentuhan dengan alat-alat berbau teknologi, seperti radio, televisi, atau alat elektronik lainnya. Mereka juga sudah menggunakan sepeda motor. Kendati sebagian dari mereka sudah berbeda dengan Kajang Dalam dalam menyikapi modernisasi, secara umum perekonomian mereka masih tergolong belum sejahtera.
Dari pola hidup dan sikap terhadap kemajuan teknologi ada perbedaan antara masyarakat Kajang Dalam dan Luar. Namun kelompok komunitas ini tetap memiliki filosofi yang sama dalam memandang tanah sebagai “ibu”.
Persamaan lainnya adalah umumnya mereka hidup dengan bertani dan beternak. Biasanya mereka menanam padi, palawija, dan sayur-sayuran. Sedangkan hewan peliharaannya kebanyakan kuda, sapi dan ayam.
Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam. Sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak. Hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah itu. Cara tersebut sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.
Terkait dengan penghormatan atas tanah, hutan yang juga merupakan bagian kawasan adat ammatoa, mempunyai arti yang sakral. Bagi masyarakat adat, kawasan adat ammatoa terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah hutan rakyat yang luasnya sekitar 98 hektare. Kawasan ini digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula.
Kawasan kedua disebut hutan kemasyarakatan seluas 144 hektare. Hutan di lokasi ini boleh digarap, dengan syarat terlebih dahulu menanam bibit pohon pengganti, sebelum sebuah pohon ditebang.
Kawasan terakhir adalah hutan adat atau hutan pusaka seluas 317 hektare yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual pemilihan ammatoa pada saat pergantian kepemimpinan. Bagi masyarakat adat, mematahkan ranting saja haram hukumnya. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi berat, misalnya dikeluarkan dari komunitas adat atau diyakini bakal mendapat malapetaka, karena melanggar pesan leluhur.

Hidup Selaras
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam itu, menurut ammatoa Suku Kajang, Puto Pallasa, pada dasarnya masyarakat adat Kajang bukan masyarakat yang mengejar kekayaan material, namun bagaimana mencapai kehidupan abadi di akhirat. Karena itu, bagi mereka, tanah bukan untuk dieksploitasi demi materi, melainkan sekadar memenuhi kebutuhan hidup secukupnya.
”Kami menyikapi materi dengan sangat hati-hati, karena seringkali keinginan menjadi kaya justru menjauhkan manusia dari Tuhannya,” ujarnya, filosofis.
Yang jelas, meskipun falsafah masyarakat adat Kajang terkesan bertentangan dengan pandangan umum, mereka tetap memegang teguh sistem kepercayaan dan budaya masyarakatnya yang dikenal dengan filosofi kamase-masea.
Kamase-masea ini mengandung tiga prinsip. Pertama, perbuatan manusia di dunia akan mempengaruhi kehidupannya di akhirat. Kedua, setiap orang harus mengerahkan unsur dirinya, jasmani maupun rohani, kepada nasihat, petuah, dan petunjuk Yang Mahakuasa untuk mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Tuhan. Dan ketiga, paham kehidupan materialistis di dunia dapat berakibat buruk dalam kehidupan manusia.
Dengan prinsip kamase-masea ini, ungkap ammatoa, menuntun masyarakat adat Kajang untuk mengekang hawa nafsu, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, termasuk merusak alam, dan cinta materi yang membinasakan diri dan orang lain.
Kendati dengan filosofi kamase-masea ini, mau tidak mau masyarakat adat Kajang tertinggal baik secara sosial, ekonomi, dan politik, tetapi di satu sisi justru menciptakan keselarasan, suasana kejiwaan yang bersahaja, hidup prihatin, serta menebar cinta kasih.
Setidaknya, filosofi itu dapat ditiru oleh masyarakat Indonesia, agar terhindar dari segala bencana dan kerusakan alam. Bukankah apa yang dialami bangsa dan negara ini adalah buah dari keserakahan manusia yang mengeksploitasi tanah dan hutan secara berlebihan?

Tidak ada komentar: