Kamis, 16 April 2009

SUKU ANAK DALAM

Suku Anak Dalam Tak Nikmati Kemerdekaan
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-17-Agustus-2008-Suku-Anak-Dalam-Tak-Nikmati-Kemerdekaan

/Minggu, 17 Agustus 2008 | 17:20 WIB
JAMBI, MINGGU - Bagi warga Suku Anak Dalam (SAD) di Kabupaten
Merangin, Jambi, kemerdekaan justru telah direnggut dari mereka.
Mereka kini terusir dari hutan warisan nenek moyang, yang kini telah
berubah menjadi perkebunan sawit.

"Wilayah yang kami percaya sebagai tanah nenek moyang, sudah berubah
menjadi kebun sawit sejak sepuluh tahun lalu. Sedangkan kami sering
diusir pekerja perkebunan bila hendak membangun pondok-pondok kecil,"
tutur Sekar, Sabtu.

Ketika ditanya soal Hari Kemerdekaan RI, ia pun tidak mengetahui. "17
Agustus? Hari pemilihan ya? Kami tidak tahu kalau itu hari
kemerdekaan," ujar Sekar. Saat ditanya, ia hanya dapat menebak 17
Agustus adalah hari pemilihan kepala daerah setempat. Gembar gembor
pilkada belakangan ini memang jauh lebih terdengar.

Budaya SAD yang menggantungkan hidup pada hasil hutan juga mulai
berubah seiring perubahan fungsi hutan. Mereka tidak bisa lagi
mencari getah damar atau buah jernang untuk dijual. Hewan buruan pun
makin langka.

Satu-satunya cara untuk bertahan hidup saat ini adalah berburu babi
hutan. Para lelaki SAD dengan menggunakan celepek atau senapan
rakitan menyebar berburu babi hutan hingga ke pelosok. Hewan buruan
ini dijual dengan harga Rp 2.500 per kilogram. Satu ekor babi hutan
beratnya berkisar lima kilogram.

"Babi hutan sekarang semakin susah. Satu hari bisa dapat seekor,
tetapi sering juga berhari-hari tidak dapat. Satu bulan paling dapat
lima atau enam ekor," ujar Sekar. Isi perut babi hutan diambil untuk
dimakan, sedangkan dagingnya dijual. Uang hasil penjualan babi hutan
ini digunakan untuk membeli beras, rokok, dan keperluan kelompok yang
beranggotakan 20-an orang.

Minimnya pendapatan membuat kelompok Sekar hanya makan seadanya.
Juminah, seorang warga SAD lainnya, hari itu memasak nasi yang
dicampur garam sebagai makanan bagi kedua anaknya. Menurut Juminah,
lauk hanya bisa dibeli kalau ada uang lebih saja .

Manajer Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf
mengatakan saat ini setidaknya 400 warga SAD telah keluar dari hutan,
dan hidup berkelompok di sepanjang jalur lintas Sumatera. Ada yang
diupah tauke (pemodal) untuk mencari labi-labi dan babi, ada juga
yang turun ke jalan jadi pengemis.

Suku Anak Dalam (SAD)

Suku Anak Dalam Jambi ( Suku Kubu )

http://mamas86.wordpress.com/prop-jambi/suku-anak-dalam-jambi-suku-kubu/


A. Sejarah Suku Anak Dalam Kubu

Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.

Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.

Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.

Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.

Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.

Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.

Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.

Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.

Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.

Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.

Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso

Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.

Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.

Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang - sebutan untuk masyarakat di desa.

Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.

Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.

Terdesak penjajahan

Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.

Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.

Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.
Kembali ke atas

B. Asal Usul Suku Anak Dalam Kubu

Penyebutan Orang Rimba pertama kali dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul ‘Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal, Propinsi Jambi’. Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang Rimba tanpa akhiran ‘o’ (Aritonang).

Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:

1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)

Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.

Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).

Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut:

Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak.

Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.

Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak Dalam.

Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.

Tentang Suku Anak Dalam ini, Ruliyanto, Wartawan Tempo (Tempo, April 2002) menulis bahwa sejumlah artikel terakhir menyebutkan orang rimba merupakan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok Melayu Tua merupakan eksodus gelombang pertama yunani (Dekat Lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok melayu muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.

Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan Silent trade, mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.

Senada dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.
Kembali ke atas

C. Karakteristik dan Kultur Suku Kubu

Ciri-ciri fisik dan non fisik

Suku anak dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.

Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.

Budaya Melangun

Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.

Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.

Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata “ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.”

Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.

Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.

Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal.

Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.

Seloko dan Mantera

Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:

1.Bak emas dengan suasa .
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu adat yang dipakai).
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)

Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.

Besale

Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.

Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.

Kepercayaan

Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah ethnic mereka yakni dewo dewo. Mereka juga mempercayai roh roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mantera yang memiliki kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu. Atinya: Mereka (Suku Anak Dalam) mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.

Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh Tumenggung Njawat “ Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.

Kepercayaan tradisional Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.

Pengelolaan Sumberdaya Alam

Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan.

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumber daya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.

Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.

Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka. Sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.
Kembali ke atas

D. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal.

Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba.

Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan
yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.

Ada tiga jenis perkawinan, yaitu;

Pertama, dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut.

Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara
kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau.

Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya
dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.

Kebudayaan orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin utama dalam struktur kelompok., yang posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika pemimpin tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin bisa diganti melalui jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa dilakukan dimana mana.
Kembali ke atas

E. Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu

Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:

1.Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat
2.Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung
4.Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
5.Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adapt
6.Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adapt
7.Debalang Batin, Pengawal Tumenggung
8.Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat membatalkan keputusan

Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak bersifat mutlak. Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian besar menyetujui maka orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan melalui pertemuan adat dalam suatu upacara.

Jabatan Tumenggung yang terlihat punya kekuasaan cukup besarpun masih dibatasi oleh beberapa jabatan lain seperti jabatan Tengganas yang mampu membatalkan keputusan Tumenggung. Ini menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam telah mengenal suasana demokrasi secara sehat.

Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini.

Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggungi oleh Temenggung Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring.

Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings) terjadi antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal dan orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain.

Temenggung Biring setelah pindah keluar dan menganut agama Islam berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama Pak Helmi. Sebenarnya anggota kelompok Biring serta anggota kelompok Tarib terpisah. Artinya, ada anggota yang tinggal di hutan secara tradisional dan ada anggota kelompok yang pindah keluar yang dapat bantuan dan merubah kepercayaan. Mungkin alasan memisahkan diri adalah faktor ekonomi atau faktor akulturasi dengan budaya pasca tradisional.

Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur masyarakat terdiri dari: Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absent dia diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu.

Pengulu adalah sebuah institusi social yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang bertugas seperti dukun, atau Tengganai dan Alim yang mengawasi dan melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan sebagainya.

Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu dengan Presiden Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Rimba untuk Dewan Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999 sampai sekarang.

Orang Rimba yang tinggal di pinggir Bukit Duabelas berinteraksi cukup sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Rimba yang tinggal lebih didalam Bukit Duabelas tidak berinteraksi sama sekali. Orang Rimba sebenarnya sering memerlukan bantuan dari orang Rimba yang bermukim di pinggir hutan. Mereka minta bantuan untuk mendapat barang dari pasar. Maksudnya, orang Rimba yang tinggal didalam Bukit Duabelas memesan barang yang dijual di pasar kepada orang Rimba di pinggir hutan, dan diambil oleh mereka setelah barangnya sudah didapat.

Posisi Jenang, atau penghubung antara orang Rimba dan pemerintah adalah warisan dari masa lampau, waktu belum sering ada hubungan dengan luar. Tugas pertamanya beli barang dan jual kepada pihak tertentu, serta jalur komunikasi dengan luar. Kelihatannya posisinya terkadang disalahgunakan, itu alasan saat Jenang meninggal posisinya tidak diisi lagi dan orang Rimba yang sudah cukup biasa dengan prosedur, melakukan perundingan sendiri dengan luar
Kembali ke atas

F. Kehidupan Masyarakat Suku Kubu

Makanan

Saat ini mereka sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras ini mereka dapat dari membeli di dusun-dusun atau masyarakat yang datang ke lokasi mereka. Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.

Pakaian

Meraka pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan beralih dengan kain yang mereka beli di pasar melalui masyarakat umu. Jenis kain dan warnanya bebas dan cara memasangnya disesuaikan oleh meraka sendiri. Untuk kaum wanita sangat sulit untuk dilihat karena ada larangan, bahkan kalau dia melihat orang luar selalu menghindar / lari. Tetapi menurut Tumenggung bahwa perempuan Suku Anak Dalam yang wanitanya hanya berpakaian menutupi bagian pinggang saja sedangkan payudara mereka dibiarkan terbuka.

Dalam hal penampilan sehari hari, mereka memakai pakaian cawat untuk laki laki yang terbuat dari kain sarung, tetapi kalau mereka keluar lingkungan rimba ada yang sudah memakai baju biasa tetapi bawahnya tetap pakai cawat/kancut sedangkan yang perempuan memakai kain sarung yang dikaitkan sampai dada.

Tingkat kemampuan intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.

Rumah dan permukiman

Mereka hidup berkelompok dalam satu wilayah, biasanya kelompok Tumenggung yang satu tinggal di kelompok Tumenggung yang lainnya. Walau tetap mengakui Tumenggung mereka yang sebanarnya.

Tempat tinggal mereka agak masuk ke dalam belukar yang lebat hutannya, tidak di tepi jalan setapak, setiap pondok ( sudung ) satu keluarga terpisah agak jauh dengan sesudung keluarga lainnya. Namun sesudung yang masuk dalam suatu keluarga misalnya untuk anak-anak mereka yang sudah besar dibuat sesudung sendiri yang tidak jauh dengan sesudung orang tuanya. Begitu juga untuk keluarga istrinya. Sesudung dalam bahasa mereka berarti rumah. Didirikan diatas batang-batang kayu bulat kecil panjang yang disusun berjajar hingga dapat digunakan sebagai alas.
Kembali ke atas

G. Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu

Nomaden didefinisikan sebagai orang yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni dan alat teknologi yang minimal pula. Sebetulnya, gaya hidup orang Rimba hampir tabu untuk memiliki atau menambah harta benda yang tidak termasuk kebutuhan primer atau memiliki barangbarang yang menyulitkan untuk berpindah-pindah.

Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Mungkin alasan itu yang menyebabkan mereka tidak merasakan adanya kecemburuan dan iri hati. Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi. Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan.

Sebelum memiliki kain untuk membuat cawat (kancut) orang Rimba membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul hingga lembut. Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan memakai kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradisional orang Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan, karena mereka perlu untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari hal-hal yang berbahaya.

Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka
tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan baik.
Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka sulit sekali.

Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi.
Kembali ke atas

H. Wilayah Persebaran Suku Kubu

Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
Kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba yang dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No. 522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha. Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfir, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:

1.Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2.Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3.Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis.
4.Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993).

Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah tengah propinsi Jambi.

Di kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang merupakan wilayah tempat tinggal atau habitat Orang Rimba ini , terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai tempat mereka tinggal. Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai sebagai sumber air minum, transportasi dan penopang aktifitas kehidupan lainnya. Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.

Walaupun mereka jarang menggunakan sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.

Wilayah Taman Nasional Bukit XII memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.
Kembali ke atas
Kembali ke awal

Sumber :

  • Depsos RI. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.
  • Dian Prihatini, 2007. Makalah ”kebudayaan Suku Anak Dalam”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
  • Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.
  • Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta.
  • Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam (Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi.
  • Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.
  • http://arfaangel.blogspot.com/2008/07/asal-usul-dan-sejarah-suku-anak-dalam.html
  • http://jambicrew.blogspot.com
  • http://www.boergala.com
  • http://www.google.com

Suku Anak Dalam (SAD)

Mengunjungi Orang Rimba, Suku Anak Dalam di Jambi

http://www.gp-ansor.org/berita/mengunjungi-orang-rimba-suku-anak-dalam-di-jambi.html
Tolak Bantuan Rumah, Takut Roh Leluhur Marah
Tak banyak yang diminta oleh suku Anak Dalam. Karena cintanya terhadap alam, hanya satu harapan mereka kepada pemerintah, yakni melindungi hutan tempat tinggal mereka.
Sekelompok pria dan wanita nyaris bertelanjang tampak santai berjalan tanpa alas kaki menyusuri hutan. Mereka hanya mengenakan selembar kain untuk menutup bagian vital. Sebagian perempuan juga membiarkan buah dada mereka. Kulit mereka gelap dan tampak kasar akibat terkena sinar matahari dan hawa dingin secara bergantian setia hari. Itulah gambaran orang rimba. Warga suku Kubu yang dikenal dengan suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.
Sekitar 1.300 orang rimba masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektare itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten, Batanghari, Sarolangun, dan Tebo.
Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf bersama artis Nurul Arifin dan penyanyi Frangky Sahilatua pada Senin lalu, 15 Januari, mengunjungi orang rimba yang berada di wilayah Kabupaten Sarolangun. Tepatnya di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam.
Baru kali itu ada pejabat pusat yang mendatangi suku Kubu. Sebelumnya, pejabat tertinggi yang pernah datang ke sana hanya bupati Sarolangun dan gubernur Jambi.
Butuh waktu empat setengah jam dari Bandara Sultan Thaha Syaifuddin untuk sampai ke Pematang Kabau. Sekitar dua puluh kilometer kondisi jalan rusak parah. Dari Desa Pematang Kabau, harus berjalan hampir 1 km lagi untuk mencapai salah satu komunitas suku Anak Dalam yang dipimpin seorang temenggung (pimpinan suku Anak Dalam) bernama Tarib. Dia pernah mendapat penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke hutan tempat tinggal orang rimba. Di depan gerbang ada tulisan pada papan, Dilarang Memotret dan Syuting. Aturan itu sangat ketat dan kaku. Terutama mengambil gambar perempuan dan rumah godong (rumah terbuat dari kayu beratap rumbiyak). Pelanggar aturan itu akan dikenai denda kain, mulai 10 lembar hingga 50 lembar, bergantung keputusan depati (pejabat adat yang bertugas menyelesaikan sengketa).
Saat rombongan menteri PDT akan masuk, sempat ditolak oleh orang rimba. Alasannya, rombongan membawa wartawan yang dikhawatirkan akan mengambil gambar perempuan dan rumah godong. Setelah dijamin oleh Bupati Sarolangun Hasan Basri Agus, mereka baru mengizinkan.
Saat di dalam hutan, seorang wartawan sempat tepergok mengambil foto menggunakan kamera handphone. Mereka langsung protes ke bupati. “Itu kan handphone, bukan kamera,” kata Bupati Hasan Basri mencoba menjelaskan. “Kami tidak bodoh. Di sini tidak ada sinyal. Buat apa mengeluarkan handphone,” kata salah seorang di antara mereka.
Banyak aturan lain yang ketat di sana. Pria asing boleh masuk hutan kalau ditemani pria rimba. Setiap masuk harus berteriak terlebih dahulu. Ado jentan kiuna (Ada laki-laki di sana?). Setelah mendapat jawaban, baru bisa masuk.
Pria yang mandi dilarang bertelanjang bulat. Harus tetap mengenakan penutup alat vital. Jika melanggar, si pria juga akan didenda membayar sejumlah kain.
Pria dan perempuan suku Anak Dalam juga dilarang berduaan. Jika ketahuan, mereka akan dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.
Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa menanam kelapa sawit.
Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.
Orang rimba memang sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya, saat berkunjung ke sana, Menteri PDT Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah. Tapi, itu ditolak. “Kami tidak butuh rumah. Kami hanya minta rimba kami dijaga,” kata Tarib.
Menurut Tarib, pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu. “Kalau beratap seng, roh leluhur kami tidak bisa masuk,” tutur Tarib. “Kalau atapnya genting, kami belum mencoba,” lanjutnya.(jp/aji)

Suku Anak Dalam (SAD)

KEARIFAN SUKU ANAK DALAM
http://noeloe.net/2009/04/kearifan-hidup-suku-anak-dalam/

Membaca Femina edisi Januari 2009 sambil manjakan diri di salon kemarin, sebuah artikel menarik tentang suku anak dalam memberi pelajaran banyak juga. Belajar dari kehidupan nomaden mereka yang primitif ternyata membuka mata saya bahwa kearifan hidup bisa kita dapat walau muncul dari dalam rimba.

Suku anak dalam ternyata adalah yang dulu saya kenal di pelajaran sejarah zaman SD tuh, suku kubu. Mereka hidup di dalam hutan di daerah Jambi sana. Mengalamai berbagai perubahan sebuatan di zaman purba, orde baru dan sebutan sendiri oleh LSM yang concern pada penelitian kehidupan primitif mereka. Tapi saya lupa sebutannya apa, mau pinjem majalahnya malu hehe…

Pertama melihat artikel itu tentu kepala saya berfikir mau nawarin bisnis Oriflame saya pada mereka begitu melihat wajah-wajah polos gadis suku anak dalam. Sepertinya pasar target yang bagus juga. Ternyata, mereka itu melindungi sekali peradaban asli mereka sejak ratusan tahun yang lalu dari *suku terang*, sebutan untuk orang diluar suku anak dalam. Jadi kalo saya kesana nawarin Orilame, mereka akan bilang saya ini suku terang. Silau dong :D

Anak-anak gadis/perempuan dijaga banget, ga bisa sembarangan orang ajak bicara. Jadi saya mengurungkan niat nawarin Oriflame ke sana haha…Wajah gadis suku anak dalam cantik polos dan lugu. Kecantiakn yang masih begitu alami.Mereka *manja* alias mandi jarang. Eits…jangan heboh dulu, itu karena mereka berkeyakinan kebanyakan mandi membuat hubungan kebaikan kepada Tuhan terputus. Makanya mereka mandi enggak pernah pake sabun, dan hanya 2 hari sekali dengan membasuh tubuh pakai air saja. Jadi, mungkin rada sulit saya masuk kesana nawari sabun dan body lotion pada mereka ya hihii…apalagi parfume.

Anak perempuan kecil pakai kain jarik dibawah puser, aih sexi dueh. Tapi kalo udah gadis kainnya naik sebatas dada :D

Mereka adalah orang-orang cinta damai. Apa hanya ada jenis Plegmatis disana ya ? Wallahualam. Tapi saya yakin deh itu karena ajaran nenek moyang mereka untuk selalu hidup rukun dan damai selalu. Mereka selalu menghindari konflik dengan cara menjauh dari sumber konfliknya. Tidak seperti masyarakat suku terang alias kita-kita ini orang yang ngakunya berperadaban modern ya, bawaannya *ganas* aja, maunya mendekati konflik.

Tapi hal lain yang menjadi pelajaran kaitan menghindari konflik ini, ternyata sebuah peradaban bisa juga jadi hilang dalam kondisi semakin menipisnya sumber kehidupan. Dalam sejarah mereka, tercatat baru-baru ini terjadi pertumpahan darah yang sebabnya karena berebut sumber kehidupan. Menajadi pemahaman baru bagi saya, bahwa pada kenyataannya orang butuh mempertahankan hidupnya kan ya ? Jadi betul juga rupanya kalo kita tuh butuh mempertahankan sumber income hehehe…kena deh. Nah kalo kena PHK egggak punya income cadangannya, belibet nanti maunya konflik terus. Makanya siapin dengan membangun bisnis bareng saya sini qe..qe…(maaap terpaksa iklan) :D

Pelajaran lainnya soal melupakan masa lalu kelabu atau yang membuat sedih-sedihan…

Kebiasaan hidup nomaden mereka selain karena mancari penghidupan baru dan menghindari konflik, ternyata bisa juga disebabkan karena ingin melupakan kesedihan yang terjadi di tempat lama. Misalnya ditinggal mati orang yang dicintai, biasanya mereka akan meninggalkan lokasi dimana pekuburan orang tersebut supaya lebih mudah menghilangkan kenangan yang bikin sedih selalu. Menjadi pelajaran bahwa memang masa lalu ga perlu dikenang. Motto mereka masa lalu (yang bikin sedih kali maksudnya ya..) perlu dilupakan, menikmati hari ini dan berani menghadapi masa depan. Keren juga yak…padahal orang primitip katanya. Lha kalo yang susah lupa masa lalu, lebih parah dong dari suku primitip :-)

Yang membuat saya takjub, darimana ya mereka akses acara Mario Teguh Golden Way ? Karena ternyata mereka menganut ajarannya pak Mario untuk menjadi orang yang paling bermanfaat bagi lainnya.

Suku anak dalam alias suku kubu, peradaban primitif yang sampai kini tetap berjuang mempertahankan keaslian kehidupan mereka yang terancam punah seiring makin menipisnya hutan belantara dimana mereka hidup. Mereka mohon cinta dan belas kasih kita kaum suku terang nih, untuk tidak menghabiskan sumber kehidupan mereka yaitu hutan.

Kata orang LSM yang care pada mereka, salah satu caranya jangan kebanyakan pakai minyak goreng, karena hutan mereka banyak ditebas untuk perkebunan sawit guna memenuhi kebutuhan minyak kita kaun suku terang hehe….Lagian bagus juga ga kebanyakan makan gorengan kan ya, jauh dari kolesterol sekalian berbagi cinta pada suku anak dalam.

Sejujurnya sih saya berharap peradaban internet bisa akses ke mereka untuk saya jakin bisnis saya hihihi…sapa tau ya bisa turut menjaga kearifan ajaran kehidupan suku primitif itu yang selalu berusaha menjauhi konflik. Suatu hari hutan makin gundul dan mereka harus terpaksa keluar dari hutan, setidaknya kan udah ada cadangan penghidupan dan enggak ada konflik-konflikan karena rebutan sumber hidup. Dan banyak tau isinya dunia anak terang nih, jadi gak kaget-kaget amat gitulooo…

Ide bagus tak ??

Suku Anak Dalam (SAD)

SUKU KUBU
From: Wikipedia

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.

Suku Anak Dalam (SAD)

Taman Nasional Bukit Duabelas

Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Semula kawasan ini merupakan kawasan hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan areal penggunaan lain yang digabung menjadi taman nasional. Hutan alam yang masih ada terletak di bagian Utara taman nasional ini, sedangkan yang lainnya merupakan hutan sekunder.

Jenis tumbuhan yang ada antara lain bulian (Eusideroxylon zwageri), meranti (Shorea sp.), menggeris/kempas (Koompassia excelsa), jelutung (Dyera costulata), jernang (Daemonorops draco), damar (Agathis sp.), dan rotan (Calamus sp.). Terdapat kurang lebih 120 jenis tumbuhan termasuk cendawan yang dapat dikembangkan sebagai tumbuhan obat.

Taman nasional ini merupakan habitat dari satwa langka dan dilindungi seperti siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), beruk (Macaca nemestrina), macan dahan (Neofelis nebulosa diardi), kancil (Tragulus javanicus kanchil), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus),

kijang (Muntiacus muntjak montanus), meong congkok (Prionailurus bengalensis sumatrana), lutra Sumatera (Lutra sumatrana), ajag (Cuon alpinus sumatrensis), kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri), elang ular bido (Spilornis cheela malayensis), dan lain-lain.


Jumlah sungai dan anak sungai sangat banyak yang berasal dari dalam kawasan ini (terlihat di peta seperti serabut akar), sehingga kawasan ini merupakan daerah tangkapan air terpenting bagi Daerah Aliran Sungai Batanghari.

Keadaan topografi taman nasional ini datar sampai bergelombang sedang, dengan bukit/gunung seperti Bukit Suban, Sungai Punai (± 164 m. dpl), Gunung Panggang (± 328 m. dpl), dan Bukit Kuran (± 438 m. dpl).

Rumah suku Anak Dalam di sekitar Taman Nasional


Masyarakat asli suku Anak Dalam (Orang Rimba) telah mendiami hutan Taman Nasional Bukit Duabelas selama puluhan tahun. Suku Anak Dalam menyebut hutan yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai daerah pengembaraan; dimana mereka berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara dan saling menghidupi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, suku Anak Dalam melakukan kegiatan berburu babi, mencari ikan, mencari madu, dan menyadap karet untuk dijual.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:Taman Nasional Bukit Duabelas baru ditunjuk sebagai taman nasional, sehingga relatif belum ada fasilitas untuk pengunjung.

Musim kunjungan terbaik: bulan Juni s/d Oktober setiap tahunnya.

Cara pencapaian lokasi :Cara pencapaian lokasi: Dari Jambi ke Pauh (menggunakan bis) melewati Muara Bulian sekitar 3 jam, dari Pauh dilanjutkan charter kendaraan ke Lubuk Jering dan Pematang Kabau sekitar 2 jam.

Kantor : Jl. Arif Rachman Hakim No.10
Telp. (0741) 667983, Jambi 36124
Dinyatakan ----
Ditunjuk Menteri Kehutanan dan Perkebunan
SK No.258/Kpts-II/2000 dengan luas 60.500 hektar
Ditetapkan ----
Letak Kab. Sarolangun Bangko, Kab. Bungo
Tebo dan Kab. Batanghari Provinsi Jambi
Temperatur udara 20° - 30°C
Curah hujan ----
Ketinggian tempat 50 - 400 m. dpl
Letak geografis 1°44’ - 1°58’ LS, 102°29’ - 102°49’ BT

SUKU ANAK DALAM

SUKU ANAK DALAM SUmatra


Bagi teman-teman yang berasal dari propinsi Jambi dan sekitar mungkin mengetahui tentang keberadaan Suku Anak Dalam, atau lebih dikenal dengan suku Kubu. Nah, beberapa hari lalu saya baru mendapat informasi dari Vito tentang kegiatan yang diprakarsai Putri Jambi 2007 bekerja sama dengan beberapa instansi terkait, seperti Warsi KKI Jambi dan harian Jambi Independent. Jelasnya, mungkin bisa langsung menuju situs perpustakaan rimba.

Kegiatan ini berupa bantuan buku bekas. Kalau baru malah lebih baik lagi ) Berupa bantuan dana? Hmm.. saya kurang tau. Mungkin bisa langsung menghubungi kontak di bawah ini :

a.Silviana Puspita (Puteri Indonesia Jambi 2007) di Yayasan
Puteri Indonesia, Graha Mustika Ratu Lt 7, Jln. Gatot Subroto Kav 74-75 Jakarta Selatan. Telp 0811-188-8283, 021-830-6754 email
silvianapuspita[at]gmail.com, atau dikirimkan,

b.Harian Jambi Independent, Jln. Jend. Sudirman No. 100 Thehok,
Jambi atau Telp (0741) 23330, atau dikirimkan ke,

c.Warsi KKI Jambi, Jln. Inu Kertapati No 12 Rt 10 Pematang Sulur
Telanai pura Jambi 36124 Telp (0741) 66695

Qoute dari Vito,

Kenapa memberi mereka bantuan buku?

Memberikan anak-anak rimba kemudahan mengakses buku, berarti membukakan mata mereka terhadap cakrawala dunia.

Itulah beberapa gambar dari mereka. Suku anak dalam [anak rimba] ini hidup di kawasan Bukit Dua Belas Jambi. Hidup mereka terisolasi, bukan karena diisolasi. Yah lebih sebab ke alasan ‘tradisi’…

Dan ada fakta mengejutkan, Butet Manurung si Woman Of The Year 2004 ini, semenjak tahun 1999 telah mendirikan sebuah sekolah dadakan, yang mempunyai tujuan untuk bisa mengajarkan anak-anak suku ( range umur 6-20 tahun) ini membaca dan menulis.

Membaca dan menulis memang bukan sebuah keharusan bagi suku ini, survive adalah menu utama. Namun berkat jasa Ibu Butet ini hingga tahun 2007, banyak anak suku dalam yang sudah bisa membaca & menulis. Dan gong-nya, pada April 2007, terbit sebuah buku kumpulan cerita yang ditulis murid-murid Sokola Rimba Bukit Duabelas, diberi judul “Cerita Anak Rimba”. Sebuah potensi besar bukan..

Jadi, ayo, ayo! Daripada ditumpuk, lebih baik disalurkan bagi mereka. Pahalanya insya Allah ngalir terus lho ;) , kan memberi kesempatan bagi orang lain untuk mencicipi ilmu dan memperluas wawasan.

Link terkait :

ps. Beberapa kalimat saya ambil dari Vito (yang di-quote). Gimana, okeh beib? ;)

ps lagi. Saya cuma bantu nyebarin berita. Atas perhatiannya, saya ucapkan terimakasih :)

ps lagi-lagi. Artikel sama persis di rumah satu lagi :)