Senin, 20 Juli 2009

Apa Dibalik Bom Marriott Dan Ritz Carlton

Pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Mega Kuningan pada Jumat (17/7) adalah ulah dari teroris kelompok militan. Pelakunya diperkirakan lebih dari empat orang, dua orang menginap di Hotel Marriott, sisanya bergantian menyuplai bahan bom. Polisi menyampaikan data salah satu pelaku yang bernama Nurdin Azis itu check in sejak tanggal 15 Juli 2009 dikamar 1808. Polisi juga menemukan satu bom aktif dengan jenis yang sama di kamar tersebut. Bom berhasil diurai dan dijinakkan oleh tim Gegana Polri sekitar satu setengah jam setelah peledakan terjadi.

Peledakan didua tempat itu termasuk serangan bom bunuh diri. Menurut sebuah sumber, yakin pelaku bom bunuh diri pastilah dari kelompok militan. Orang sampai mau berani terbunuh dalam serangan seperti itu, pasti karena aqidah, karena keyakinan. Bukan motif lain. Sumber tersebut menuturkan bahwa hampir muskil seseorang dengan dasar selain ideologi, berani untuk melakukan bom bunuh diri. Taruhannya terlalu besar yaitu nyawa. Yang membuat kelompok militan menjadi salah satu yang dicurigai adalah soal bom dan kemampuan.
Dari indikasi kehancuran di lokasi, dimana efek panas lebih sedikit dibandingkan penghancuran, maka kemungkinan besar komposisi bom terdiri dari TNT (Tri Nitro Toluen) yang lebih dominan dengan Black Powder (agak sedikit), itulah karakter dari TNT yang bersifat demolisi. Bom ini berbeda dengan bom Bali yang efek panasnya demikian tinggi. Ahli bom memperkirakan dari tingkat kerusakan, berat bom hanya sekitar 10 kg, sehingga bisa dimasukkan kedalam ransel atau kopor kecil, dimana dari rekaman CCTV, pelaku bom Marriott nampaknya memasukkan bom rakitan kedalam tas cabin.
Sehari sebelum bom Marriot, tim Densus sedang berkonsentrasi di Lampung dan Jambi, melakukan pengejaran tersangka teroris yang melarikan diri dari Cilacap. Densus memperkirakan jaringan Cilacap terkait dengan peledakan JW Marriott. Diperkirakan bom yang meledak itu identik dengan penemuan bom di rumah Baridin alias Bahrudin Latif pada hari Selasa ( 14/07) di dusun Mlela Desa Pasuruhan. Dari lokasi tersebut, polisi mengamankan jerigen minyak ukuran 20 liter yang dibungkus plastik hitam dan di dalamnya terdapat benda-benda yang dapat dirakit menjadi bom. Baridin sendiri melarikan diri dan masih belum tertangkap. Polisi menduga kuat Baridin adalah mertua dari gembong teroris Noordin M Top.
Sydney Jones Direktur proyek International Crisis Group untuk Asia Tenggara mengatakan pada Sabtu (5/7/2008) ”Sampai sekarang ini, selama saya memantau aksi-aksi teroris, sama sekali tidak pernah ada kaitannya dengan situasi politik di Indonesia. Kita lihat saja, dua kasus dimana mereka (teroris), pasti ingin melakukan aksi menjelang peristiwa 11 September. Tentu saja dengan melaksanakan aksi-aksi seperti tragedi bom Bali I dan II. Mereka lebih berfikiran seperti itu, dari pada ingin mengganggu Pemilu.” Sydney menjelaskan, kini Noordin M Top sudah tak lagi menjadi anggota Jemaah Islamiah (JI) sejak 2003. Dalam kurun waktu lima tahun hingga saat ini, Noordin beraksi tanpa mendapat ijin dan persetujuan dari para pemimpin JI. Meskipun kerap terjadi para anggota JI berada di belakang Noordin M Top dalam melancarkan operasi.
Kalaupun Polri bisa menyita bahan peledak cukup banyak, seperti yang dilakukan bersamaan dengan tertangkapnya para tersangka terorisme di Palembang, bukanlah bagian dari perencanaan untuk membuat atau merakit bom yang lebih dahsyat dari peristiwa bom Bali I dan II. Sydney mengaku, para terorisme saat ini, memang memiliki kelihayan. Polisi berhasil menangkap kelompok teroris yang berjumlah 10 orang di Palembang, satu di antaranya, yakni MH berhasil ditangkap pada 28 Juni di Musi Banyuasin, dia diduga anggota jaringan teroris JI Singapura yang dikendalikan oleh Kastari. MH menurut versi Polri, memberi pelatihan perakitan bom kepada kelompok Palembang. MH kabur dari Singapura dan tinggal di Palembang sebagai guru bahasa Inggris. Namun, di balik kedoknya sebagai guru bahasa Inggris, MH menggalang kekuatan jaringan teroris di Palembang, termasuk di antaranya memberi pelatihan perakitan bom bagi kader-kader barunya yang dinilai potensial.
Berdasarkan beberapa fakta diatas, nampaknya serangan bom bunuh diri Marriott-II dilakukan oleh kelompok sempalan JI, yang dikontrol oleh Noordin M Top. Pemilihan lokasi JW Marriott dan Ritz Carlton menurut teori teror, merupakan simbol perlawanan mereka terhadap Amerika Serikat. Inilah simbol paling terkenal di Jakarta, karena mereka akan menjumpai kesulitan untuk menyerang Kedubes AS di jakarta. Selain lokasi sulit, juga para teroris hanya memiliki persediaan bahan bom yang sedikit. Khususnya setelah Polri berhasil menangkap Abu Dujana di Sukoharjo dimana berhasil ditemukan banyak bahan pembuat bom dan senjata api. Kemampuan serangan mereka terbatas, berbeda dengan kondisi penyerangan Bom Bali-I, Marriott-I dan Kedubes Australia. Kemungkinan lain bila ditinjau dari teori desepsi, serangan seperti pisau bermata dua, menyerang AS dan ada unsur penyerangan kepada pemerintah Indonesia. Atau dapat juga mereka memanfaatkan kesibukan aparat keamanan dalam mengamankan pemilu.
Militansi pelaku yang mau bunuh diri adalah korban “brain wash” yang dilatar belakangi dengan aqidah (keyakinan). Mereka mudah dimanipulasi dengan kepercayaan dan ideologi. Hingga kini sponsor dari kegiatan beberapa teror masih sulit diungkapkan. Melihat sasaran serangan, Marriott dan Ritz Carlton adalah simbol dari instalasi AS, hingga dapat disimpulkan motif serangan adalah politik, anti AS. Indonesia hanya dipergunakan sebagai negara sasaran antara untuk menyampaikan pesan. Apabila serangan ditujukan terhadap pemerintah dan bangsa ini, sesuai dengan prinsip dasar teror yang bertujuan menimbulkan ketakutan yang amat sangat, sasaran yang dipilih bukanlah hotel tetapi tempat konsentrasi massa seperti mall atau stasiun kereta api. Pertanyaan yang tersisa, kenapa mereka melakukan pemboman setelah selesainya Pilpres?. Ini yang perlu dijawab.
Negara-negara Jiran sangatlah “concern” dengan kita. Dari sisi intelijen negara tetangga, Indonesia adalah negara yang harus diayun-ayun, naik turun. Indonesia jangan sampai kacau (perang saudara). Kalau kacau, jutaan pengungsi plus ekses-ekses negatif akan menjadi beban sang tetangga, baik dari segi ekonomi, keamanan dan segala tetek bengeknya. Sebaliknya kalau RI menjadi negara yang sangat kuat, sang tetangga akan tidak tenang, takut diinvasi. Rupanya mereka begitu terkesan dengan sejarah Indonesia, sejak era Majapahit, Trikora, Dwikora dan Timtim, dimana kita dianggap sebagai bangsa yang sangat agresif.
Sebagai penutup, penulis mengimbau, khususnya para tokoh-tokoh nasional, marilah kita bersatu, bahu membahu memberantas kelompok teroris ini, jangan justru kita saling curiga dan mencerca. Kita sedang menghadapi teroris yang tidak jelas garis perjuangannya. Bukan tidak mungkin dari teori “desepsi” itu, justru yang diarah oleh sponsor teror adalah kekisruhan diantara kita. Ada yang tidak senang bila kita tenang, aman dan bersatu.
Keberhasilan pemilu yang aman di negara kita belum tentu juga baik bagi bangsa lain. Kini, dibutuhkan sikap yang arif, damai dan santun, tidak perlu kita emosi, jangan mau diadu domba. Seberat apapun tekanan dan resiko yang kita terima akibat ulah teroris itu, mari kita atasi bersama. Rakyat menilai para pemimpinnya, rakyat percaya kepada pemimpinnya, kini terserah kepada tokoh utama bangsa ini. Rakyat jelas akan gamang dan tidak akan tenang apabila pemimpinnya pada kisruh…(Maaf beribu-ribu maaf).
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana


sumber: http://prayitnoramelan.kompasiana.com/2009/07/19/apa-dibalik-bom-marriott-dan-ritz-carlton-jakarta/#more-1529

Tidak ada komentar: