Selasa, 21 Juli 2009

Teror dan Terorisme

Teror dan Terorisme 9

21 jam yang lalu

Apa yang tersisa setelah bom meledak, korban bergelimangan, dan berita berseliweran? Mungkin kesedihan keluarga para korban. Isak tangis. Kebingungan. Dan rasa marah. Sebagian lagi mungkin merasa kembali memiliki dorongan dan kehendak untuk memperkokoh persatuan bangsa.

Saya melihat ada begitu banyak reaksi orang pasca ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, pada Jumat pekan lalu. Juga beredar beberapa versi teori, analisis, dan tak sedikit pendapat asal-asalan tentang motif pengeboman.

Kebanyakan pendapat tak berangkat dari fakta dan data akurat. Ada yang mengatakan pengeboman berkaitan dengan pemilu. Ada yang bilang ini ulah para spekulan ekonomi asing. Dan sebagainya. Dan khalayak jadi kebingungan.

Pertanyaan terbesarnya: siapakah pelaku peledakan bom Marriott dan Ritz? Apa motifnya?

Tentu saja tak mudah menjawab pertanyaan itu. Polisi biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan, mungkin tahunan, untuk membongkar sebuah kasus bom. Proses dimulai dari olah tempat kejadian perkara, mencari kaitan antara temuan di lapangan dan data arsip, wawancara, pengejaran, pengecekan, dan seterusnya. Artinya, mustahil dalam tempo sekejap mereka mampu menyebut pelaku, jaringan, dan motif. Apalagi bila pelakunya ikut mati dalam aksi bom bunuh diri.

Saya juga tak mampu menyimpulkan apa pun. Saya tak memiliki informasi dan keterangan pendukung. Saya hanya memiliki kliping. Kumpulan arsip lama.

Menurut koleksi lawas itu, saya tahu bahwa taktik teror sudah dikenal ratusan tahun lalu, tapi menjamurnya gerakan teror internasional dimulai pada akhir 1960-an.

Yang dianggap penyebabnya antara lain: gagalnya gerakan gerilya Palestina di Timur Tengah, mundurnya perlawanan bersenjata yang meniru revolusi Cuba di Amerika Latin, lahirnya gerakan mahasiswa radikal pada 1960-an, dan timbulnya berbagai konflik regional di Timur Tengah yang menimbulkan kepahitan dan frustrasi, juga perang di Afganistan.

Teknologi modern juga ikut mendorong lahirnya gerakan teror tersebut. Teknologi membantu para teroris menciptakan alat-alat teror canggih untuk menjalankan aksi-aksi mereka.

Secara umum, gerakan teror bertujuan mencapai beberapa hal. Misalnya untuk memproklamasikan kehadiran dan tujuan mereka, meningkatkan moral dan simpati merongrong keamanan dan ketertiban, memancing tindakan balasan, menakut-nakuti rakyat, serta mencari dukungan finansial terhadap gerakan mereka.

Gerakan teror, yang biasa dipakai kelompok gerilyawan kota, umumnya menyerang sasaran simbolis atau politis melakukan perampokan yang spektakuler, melakukan penculikan politis, atau menyerang pejabat pemerintah atau pengusaha kaya. Tujuan utama mereka terutama guna memperoleh perhatian publik. Belakangan, sasaran serangan mereka meliputi juga supertanker, pipa minyak dan gas bumi, hotel, kereta api, juga sekolah.

Marriott dan Ritz saya rasa juga target simbolik. Lambang Barat. Padahal pemilik kedua hotel di Jakarta itu adalah Tan Kian, 48 tahun. Konglomerat papan tengah Indonesia versi majalah Forbes Asia. Ada versi lain yang menyebut bahwa pengusaha Tomy Winata dikabarkan memiliki sebagian saham hotel itu.

Saya kurang mengerti apakah para pengebom itu peduli pada soal kepemilikan hotel itu atau tidak. Barangkali mereka tak peduli dan semata menjadikan keduanya sebagai target hanya karena itu simbol Barat saja. Mungkin juga mereka peduli. Hotel itu dijadikan target karena banyak tamu asing. Semua yang berbau "asing" memang seksi sebagai korban.

Apa pun, hingga saat ini belum ada satu pun kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas pengeboman itu dan menyatakan tujuannya. Ini janggal menurut saya. Kalau hanya untuk menarik perhatian publik, jelas tujuan itu telah tercapai. Tapi buat apa perhatian publik itu? Apa benar itu untuk memperjuangkan ideologi atau agama?

Charles Russell dan Bowman Miller pernah menerbitkan sebuah buku hasil penelitian tentang teroris, Profile of a Terrorist, pada 1977. Mereka meneliti 350 orang teroris dari 18 kelompok, dan menemukan bahwa para teroris itu umumnya bujangan berusia sekitar 20 tahun, dan pendidikan mereka universitas (atau paling tidak pernah belajar di perguruan tinggi).

Umumnya, mereka datang dari keluarga menengah, dan banyak di antaranya mempunyai kedudukan sosial yang memadai. Kedua peneliti itu juga mencatat: Ada kecenderungan bahwa umur para teroris itu makin lama makin muda. Tapi harus dicatat: hasil penelitian ini belum tentu sesuai dengan kenyataan Indonesia.

Sejumlah pelaku aksi terorisme yang ditangkap -- sebagian bahkan telah diadili -- di Indonesia memang rata-rata masih muda. Tapi tokoh-tokohnya, Dr Azahari dan Noordin M Top, jelas tak bisa dikatakan muda lagi. Sebagian juga telah berkeluarga, punya istri dan anak.

Umumnya berlatar belakang sosial-ekonomi kelas B-C. Ada yang berkerja sebagai tukang jahit, reparasi alat elektronik, atau pedagang keliling. Tapi rata-rata memiliki hubungan yang erat dengan -- atau pernah pergi ke -- Afganistan dan Pakistan. Kalau mau lebih spesifik lagi, mereka beragama Islam. Inilah yang lantas memicu prasangka agama dan polemik yang berkepanjangan.

Dari kasus bom yang meledak di tengah sarapan pagi itu, kita beroleh pelajaran. Teroris makin canggih cara kerjanya. Mereka banyak akal dan sabar. Ada jeda enam tahun antara bom Marriott pertama pada 5 Agustus 2003 dan yang kedua pada 17 Juli 2009.

Saya merasa cara kerja para teroris itu mirip buaya. Mereka menunggu mangsa dengan sabar. Mata setengah terpejam seperti tengah bermalas-malasan. Dan ketika korban terlena. Bum!

http://politikana.com/baca/2009/07/21/teror-dan-terorisme.html

Tidak ada komentar: